Selama hampir dua periode menjadi Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB), banyak rekam jejak yang bisa diteladani dari Tuan Guru Bajang (TGB), Dr. Muhammad Zainul Majdi, dua di antaranya adalah religiusitas dan kesederhanaannya. TGB menunjukkan konsistensinya sebagai pribadi yang religius dan sederhana sejak awal dilantik menjadi Gubernur NTB pada tahun 2008. Cucu pahlawan nasional (TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid) ini melakukan desakralisasi prosesi pelantikan dengan mendatangi kedua orang tuanya untuk mencium tangan ibu dan bapak beliau sebelum menerima ucapan selamat dari undangan lainnya.

Mengawali hari pertama masuk ruangan Gubernur, TGB melakukan aksi jalan kaki dari pandopo ke kantor gubernur, yang dilanjutkan dengan sidak hari pertama, dan memimpin sholat dhuhur berjamaah dengan terlebih dahulu menghentikan rapat yang sedang berlangsung bersama aparatnya. Selama memimpin NTB, kesederhanaan dalam berintraksi dengan masyarakat acap kali ditampilkan TGB. Tidak selamanya beliau menggunkan mobil dinas karena hobinya bersepeda dimanfaatkan untuk menemui dan berdialog dengan warga.

Religiusitas dan kesederhanaan TGB merupakan performa pemimpin yang disenangi rakyatnya. Fenomena komunikasi yang menarik untuk ditafsirkan, apalagi komunikasi politik yang berlangsung lebih didominasi nuansa simbolik yang sarat makna. Dalam suasana sesakral upacara pelantikan yang dihadiri oleh pejabat teras nasional dan daerah, TGB tetap menjadikan kedua orang tuannya sebagai dua figur prioritas tempat menyampaikan terima kasih. Momen langka yang sekaligus sebagai bentuk desakralisasi agenda pelantikan ini memberi pelajaran betapa pentingnya penghormatan terhadap kedua orang tua, dalam situasi dan momen apapun. TGB tidak ingin ketaatan dan penghormatan terhadap kedua orangtuanya tereduksi oleh agenda dan prosedur formal birokrasi. Cara TGB menghormati orang tua seperti ini sangat pantas untuk diteladani.

Religiusitas yang ditunjukkan TGB selama bertugas merupakan wujud konsistensinya dalam menjalankan ibadah. Figur seorang politisi-religius yang selama ini bersandang pada TGB tidak tereduksi oleh perubahan posisi dan volume aktivitas politiknya. TGB telah menghadirkan nilai-nilai keagamaan sebagai spirit dalam menjalankan tugas-tugas birokrasi. Konsistensi TGB dalam menjalankan ibadah patut diteladani oleh siapa pun yang hanya akrab dengan religiusitas di saat berkampanye dan di kala ingin menarik simpati jama’ah masjid dan komunitas muslim umumnya.

TGB tidak hanya mewujudkan bangun fisik Islamic Center (IC) dan Masjid Raya Hubbul Wathan yang telah lama didambakan warga NTB, tetapi juga berkomitmen untuk membuat kebijakan dalam memakmurkannya. Untuk menyemarakan ibadah Ramadhan, provinsi NTB di bawah kepemimpinnan TGB telah mengundang imam-imam terkenal dari Timur Tengah dengan suara yang begitu merdu untuk memimpin sholat fardu dan sunat selama bulan puasa. Kebijakan yang sangat religious ini mendapat apresiasi yang sangat dari warga NTB, terutama yang merasakan khusu’nya sholat saat dipimpin oleh imam asal Timur Tengah dengan suara yang begitu merdu. “Terasa sedang sholat di Masjidil Haram di Makkah dan Masjid Nabawi di Madinah”, demikian ungkapan senang beberapa jama’ah yang baru saja mengikuti sholat taraweh di IC.

Sebagai Tuan Guru sekaligus penghafal al-Qur’an, TGB mengambil bagian secara aktif dan rutin mengisi khutbah jum’at dan kajian tafsir setelahnya. Kajian tafsir rutin ba’da jum’at oleh TGB menjadi acara favorit yang membuat para jama’ah sholat jum’at tidak langsung beranjak meninggalkan masjid terbesar di NTB tersebut. Fenomena ini semakin mempertegas religiusitas TGB sebagai pemimpin, sekaligus menunjukkan dirinya sebagai ulama dan umara yang dicintai oleh rakyatnya.

Di samping sebagai pemimpin yang religius, TGB juga dikenal karena kesederhanaanya. Kesederhanaan dalam memimpin acap kali terlihat dalam figur TGB. Banyak yang kaget ketika mengetahui  gubernur jalan kaki dari pandopo menuju kantornya, karena momen seperti ini  langka (untuk tidak mengatakan tidak pernah) ditemukan pada gubernur sebelumnya. Meski tidak ada kontribusi yang signifikan secara ekonomis (pengiritan) ketika gubernur tidak menggunakan mobil dinas ke kantor, tetapi paling tidak aksi tersebut mengandung makna simbolik, khususnya pelajaran kesederhanaan yang patut untuk diteladani.

Harus diakui bahwa terkadang fasilitas dan pelayanan yang diperoleh seorang pejabat membuat yang bersangkutan menjadi manja dan lupa diri. Fasilitas yang sama juga dapat menyulap mereka (pejabat) menjadi figur elitis di daerah. Beberapa hal yang semestinya bisa dilakukan tanpa fasilitas dinas sering kali diabaikan. Lebih parah lagi ketika mereka menggunakan fasilitas dinas untuk aktivitas yang sama sekali tidak berhubungan dengan urusan kedinasan. TGB telah menunjukkan dirinya sebagai pejabat sederhana yang tidak menyalahgunakan fasilitas dinasnya untuk hal-hal yang bersifat pribadi. Kita membutuhkan pemimpin seperti ini di tengah krisis keteladanan saat ini. Semoga.

Dr. Kadri, Pengamat Politik dan Dosen Ilmu Komunikasi UIN Mataram

[jetpack-related-posts]

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Pin It on Pinterest

Shares
Share This