Tiga pokok yang diajarkan Allah SWT sebagai prinsip dalam menjalani kehidupan: Pertama agar selamat di dunia dan akhirat adalah takwa. Takwa adalah modal pokok di dunia. Kalau kita mau berjualan, maka haruslah kita menyiapkan modal. Hidup di dunia diibaratkan sedang berjualan atau berdagang, sementara modal pokok dari perdagangan itu adalah takwa.
Itu sebabnya dalam Al-Qur’an, terdapat banyak sekali ayat-ayat tentang ketakwaan. Sifat-sifat orang bertakwa. Yang menyebabkan seseorang di antara orang-orang yang bertakwa. Kedua, persatuan di dalam agama. Ketiga, hendaknya ada sekelompok di antara kamu menjadi umat yang senantiasa mengajak kepada kebaikan.
Allah SWT memerintahkan untuk bertakwa, lalu mengajak untuk menjaga kekompakan dan persatuan, menjalankan risalah dakwah masing-masing sesuai kemampuan dan keahlian. Pada kesempatan ini, kita teguhkan persatuan, semoga ketakwaan kita bertambah. Mudah-mudahan kita semakin mencintai saudara-saudara kita dan semakin kokoh pula persatuan dan kesatuan kita.
Hari ini, dan di tempat ini, yang hadir dari beragam organisasi. Ada warga Nahdlatul Wathan (NW), dan lebih banyak lagi warga rabitah lainnya. Semua kita adalah umat Islam. kita semua dipersatukan. Para ulama menjelaskan bahwa di dalam hidup ini ada perbedaan yang boleh dan ada perbedaan yang tidak boleh.
Pertama, Perbedaan yang termasuk boleh adalah perbedaan organisasi dan perbedaan mazhab. Ada yang menganut Mazhab Syafi’i seperti kita di Indonesia kebanyakan. Ada di Arab dan Irak sebagian besar menganut Mazhab Hanafi, di Arab Saudi menganut Mazhab Hambali. Sementara di daerah-daerah Afrika, Maroko, Tunisia menganut Mazhab Maliki. Itu dibolehkan karena termasuk dalam perbedaan mazhab. Perbedaan berijtihad.
Kedua, Perbedaan yang tidak dibolehkan adalah perbedaan yang membawa perselisihan. Perbedaan di dalam rukun iman dan perbedaan dalam pokok agama. Karenanya, perbedaan kita jadikan sebagai sumber kekuatan. Ibaratnya saling menambah, saling membantu, saling menyokong, serta saling mendukung di dalam kebaikan.
Dalam kesempatan ini kita memperingati hari kelahiran manusia yang paling dicintai Allah SWT, yaitu baginda Nabi Muhammad SAW. Semua kita umat Islam mencintai Nabi Muhammad SAW. Para hadirin cinta kepada Nabi? Lho ucapannya kok kurang keras. Yang tegas kalau mengatakan cinta kepada Nabi, agar suara kita didengar oleh malaikat. Supaya suara kita didengar oleh pohon-pohon yang ada sebab semua akan bersaksi. Bersaksi atas apa yang kita ucapkan.
Apabila kita mengucapkan yang baik, akan bagus pula persaksiannya. Tapi kalau yang keluar dari mulut kita adalah ucapan-ucapan yang buruk, seperti umpatan dan kata-kata dusta, maka buruk pula persaksiannya.
Kita semua cinta kepada Nabi Muhammad SAW. Kita semua ingin termasuk dalam pengikut Nabi Muhammad SAW yang memperoleh syafa’at. Semua kita juga ingin menjadi pengikut Baginda Nabi Muhammad yang ngiring masuk surga bi-ghairi hisab.
Namun segala sesuatu memiliki syarat. Cita-cita apapun memiliki syarat untuk mencapainya, apalagi cita-cita yang besar seperti masuk surga atau memperoleh kebahagian. Dan kita bisa mengetahui syarat menjadi orang yang masuk surga bisa dilihat di dalam kitab suci Al-Qur’an.
Dalam Al-Qur’an Allah SWT memberikan banyak istilah kepada orang yang baik kelak di akhirat. Kadang Allah SWT mengistilahkan dengan sebutan al–muttaqun (orang yang bertakwa), kadang al–muflihun (orang yang beruntung), kadang al–muhsinun (orang selalu berbuat baik), al-mukminum (orang yang beriman).
Semua istilah tersebut mengarah kepada kebaikan di akhirat. Maka mari kita merenungkan sifat-sifat orang yang beriman, sifat-sifat orang yang sukses, dan berhasil. Allah SWT berfirman dalam Surat al-A’raf 157:
فَالَّذِينَ آمَنُوا بِهِ وَعَزَّرُوهُ وَنَصَرُوهُ وَاتَّبَعُوا النُّورَ الَّذِي أُنْزِلَ مَعَهُ أُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Maka orang-orang yang beriman kepadanya (Rasulullah SAW), memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al- Quran), mereka Itulah orang-orang yang beruntung”. (Qs. Al-Araf/7.157)
Dalam ayat ini ada empat sifat orang termasuk beruntung atau sukses hakiki. Sebab sukses ada sukses yang tidak hakiki, itulah sukses menurut ukuran dunia. Sukses di dunia itu ukurannya berbeda di berbagai tempat. Di sebuah tempat mereka yang memiliki banyak sapi dianggap sukses, di tempat lain menjadi pejabat, menjadi camat bupati, atau walikota dianggap sukses. Ada pula sukses diukur dari keilmuannya. Mereka yang memiliki gelar pendidikan tinggi adalah orang dianggap paling sukses. Inilah sukses menurut ukuran manusia. Sedangkan menurut ukuran Allah SWT itu sukses (sukses hakiki) adalah:
Pertama, orang yang kuat imannya kepada Nabi Muhamamd SAW. Karena tidak ada artinya kalau kita hanya beriman kepada Allah, tapi tidak mengimani Nabi Muhammad SAW. Ibaratnya ucapan syahadat kita terdiri dari dua rangkaian kata, yaitu Asyhadu alla ilaha illallah dan yang ke dua Asyhadu anna Muhammadar-Rasulullah. Inilah dua rangkaian yang tidak boleh terpisah. Rangkaian ini telah digandeng oleh Allah SWT sejak zaman Nabi Adam As. Nabi Adam As. pernah memandang ke Arsy pada saat diadili karena melanggar perintah Allah SWT.
وَلا تَقْرَبَا هَذِهِ الشَّجَرَةَ فَتَكُونَا مِنَ الظَّالِمِينَ
“Dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu Termasuk orang-orang yang zalim.” (Qs. Al-Baqarah/2: 35)
فَوَسْوَسَ إِلَيْهِ الشَّيْطَانُ قَالَ يَا آدَمُ هَلْ أَدُلُّكَ عَلَى شَجَرَةِ الْخُلْدِ وَمُلْكٍ لا يَبْلَى
“Kemudian syaitan membisikkan pikiran jahat kepadanya, dengan berkata: “Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepada kamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan binasa?” (Qs. Thaha/20:120)
فَدَلاهُمَا بِغُرُورٍ فَلَمَّا ذَاقَا الشَّجَرَةَ بَدَتْ لَهُمَا سَوْآتُهُمَا وَطَفِقَا يَخْصِفَانِ عَلَيْهِمَا مِنْ وَرَقِ الْجَنَّةِ
Maka syaitan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya. tatkala keduanya telah merasai buah kayu itu, nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga. (Qs. Al-Araf/7: 22). Akhirnya Nabi Adam meminta ampun kepada Allah dengan cara bertawassul kepada Baginda Nabi Muhammad SAW:
“Ya Allah saya minta ampun dengan bertawassul kepada kemuliaan Nabi-Mu, yang bernama Muhammad. Aku mengetahui kelak akan lahir seorang nabi, yaitu Nabi Muhammad SAW dan itulah kekasih-Mu. Aku tahu ia adalah Nabi-Mu karena namanya disebut bersamaan dengan sebutan nama-Mu di atas Arsy.”
Maka bagi kita umat Islam, setelah diutusnya Baginda Nabi Muhammad SAW, tidak ada seorang pun yang boleh berkelit, berdalih atau beralasan. Sebab beriman kepada Allah tapi tidak beriman kepada Nabi Muhammad SAW, setelah Baginda diutus menjadi Nabi, maka imannya itu tidak akan diterima oleh Allah SWT.
Dalam kesempatan ini, perlu kita memperkuat keimanan kita kepada Nabi Muhammad SAW. Keimanan kita kepada Nabi memiliki tingkatan dan yang paling dasar adalah iman atau percaya kepada Nabi sebagai utusan Allah SWT. Selain itu, ada iman yang lebih tinggi, yaitu melaksanakan segala petunjuk dan ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Bila kita mengaku bahwa Nabi Muhammad SAW adalah utusan Allah SWT, namun kita malas melaksanakan pesan-pesan yang beliau sampaikan di dalam hadisnya, maka keimanan seperti itu perlu di perbaiki. Misalnya kata Nabi:
الْمُسْلِمُ أَخُوالْمُسْلِمِ ، لَا يَظْلِمُهُ ، وَلاَ يُسْلِمُهُ . وَمَنْ كَانَ فِى حَاجَةِ أَخِيهِ . كَانَ اللهُ فِى حَاجَتِهِ . وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً ، فَرَّجَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرُبَاتِ يَوْمِ اْلقِيَامَةِ. وَمَنْ سَتَرَمُسْلِمًا ، سَتَرَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.
Abdullah bin Umar r.a. berkata : Rasulullah saw. Bersabda : Seorang muslim saudara terhadap sesama muslim, tidak menganiyayanya dan tidak akan dibiarkan dianiaya orang lain. Dan siapa yang menyampaikan hajat saudaranya, maka Allah akan menyampaikan hajatnya. Dan siapa yang melapangkan kesusahan seorang muslim, maka Allah akan melapangkan kesukarannya di hari qiyamat, dan siapa yang menutupi aurat seorang muslim maka Allah akan menutupinya di hari qiyamat. (H.R. Bukhari, Muslim)
Lalu tiba-tiba perbuatan kita tidak sesuai dengan hadis ini, berarti iman kita masih perlu diperbaiki agar sesuai dengan petuah-petuah dari Baginda Nabi Muhammad SAW.
Kedua, orang selalu mengagungkan dan mentakzim Baginda Rasulullah SAW. Azzoma artinya mengagungkan. Cara kita mengagungkan mulai dari penyebutan namanya. Kita sebut sebelumnya misalnya kata, “Nabi” atau “Nabi Besar”, jangan biasakan langsung menyebut namanya Muhammad, seperti menyebut nama teman. Itu berarti kita tidak menghormatinya. Dalam Alqur’an Allah SWT berfirman:
لا تَجْعَلُوا دُعَاءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ بَعْضًا
Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul diantara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain). (Qs. An-Nur/24: 63)
“Wahai sahabat-sahabat, jangan sekali-kali memanggil Nabi SAW sama dengan engkau memanggil teman-temanmu”. Contohnya Ya Rasulullah, Ya Habibullah, atau Ya Abal Qasim.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلا تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain. (Qs. Al-Hujurat/49:2)
Bersambung.
0 Comments