Tiga hari lalu. Tepatnya, Sabtu, 13 Mei 2017 sore, saya ditelepon seorang sahabat dari Yogyakarta. Dia teman kuliah saya di Stikosa AWS Surabaya. Dia menginformasikan bahwa saat itu, Gubernur NTB, Dr. TGH. M. Zainul Majdi –akrab disapa Tuan Guru Bajang (TGB) sedang berada di Yogyakarta. Informasi yang dia dengar di Yogyakarta, Gubernur NTB akan menjadi calon presiden (Capres), 2019 mendatang.
Teman saya ini juga cerita, bahwa di Yogyakarta, TGB bersilaturahmi dan ceramah di beberapa tempat. Meski pun teman saya ini sebagai pengusaha. Mungkin karena latar belakang pendidikannya jurnalistik, dia cukup kritis dan bertanya kepada saya tentang informasi yang dia peroleh, bahwa TGB akan menjadi Capres, 2019.
Saya tidak bisa memberi jawaban yang banyak. Saya katakan, yang pasti saya belum pernah mendengar langsung dari TGB, bahwa TGB berencana mencalonkan diri sebagai Capres atau pun Cawapres pada Pilpres, 2019 mendatang. Tetapi soal adanya keinginan dari banyak orang di NTB yang mendorong TGB untuk menjadi pemimpin nasional kata saya, saya dengar juga.
Peluangnya seperti apa? Kembali dia bertanya. Saya tidak secara spesifik memberi jawaban tentang peluang TGB sebagai pemimpin nasional. Hanya saja saya katakan, bahwa TGB adalah tokoh muda yang cerdas, ulama, hafal Al-Quran dan doktor tamatan Universitas Al-Azhar Kairo-Mesir. Punya pengalaman sebagai anggota DPR-RI dan dua periode sebagai Gubernur NTB. Pada periode pertama menjabat sebagai Gubernur NTB, usianya masih relatif muda, 36 tahun. Menurut saya, syarat menjadi pemimpin nasional Insya Allah terpenuhi.
Mendengar jawaban saya, sahabat saya itu mengaku kagum dengan TGB. Apalagi ketika saya sebutkan, doktor tamatan Kairo-Mesir dan hafal Al-Quran. Karena memang sahabat saya ini, selain sebagai pengusaha. Dia juga menampung ana-anak yang datang dari keluarga kurang mampu di Yogyakarta untuk belajar mengaji dan disekolahkan.
“Kehadiran” TGB sebagai tokoh muda yang bisa mewakili masyarakat muslim sepertinya ketemu momentumnya. Indonesia membutuhkan tokoh dengan syarat yang dimiliki TGB. Misalnya, TGB sebagai Cawapres “dikawinkan” dengan tokoh yang juga memiliki syarat sebagai Capres. Sehingga Capres dan Cawapresnya saling melengkapi dan saling menguatkan.
Saya cukup penasaran dengan kegiatan TGB selama di Yogyakarta. Saya mencoba mengontak Farid Tolomundu, kawan saya yang mendampingi TGB selama di Yogyakarta. Cerita yang saya peroleh dari Farid Tolomundu jauh lebih lengkap dari informasi dari sahabat saya dari Yogyakarta tersebut. Selama di Yogyakarta, TGB berkesempatan bersilaturahmi dengan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sultan Hamengkubawana X, Amin Rais dan Ustadz Yusuf Mansur. Bahkan Ustadz Yusuf Mansur secara khusus datang ke Yogyakarta dari Jakarta untuk bertemu TGB.
Selama di Yogyakarta kegiatan TGB cukup padat. Menurut Farid Tolomundu, kegiatan TGB antara lain, selain berkesempatan sebagai khotib pada Salat Jumat di salah satu Masjid di Yogyakarta. TGB juga bersilaturahmi ke Ponpes Ibnu Abbas di Klaten dan tampil sebagai pembicara pada salah satu universitas di Magelang- Jawa Tengah.
Langkah yang dilakukan TGB untuk menjadi pemimpin nasional tidak ada yang keliru. Tetapi perjuangan untuk bisa menjadi pemimpin nasional bukanlah perkara sederhana. Kerja-kerja politik harus dilakukan dengan matang dan terukur. Terencana dengan baik. Tidak boleh dilakukan secara amatiran. Orientasi orang-orang yang berada di sekitar TGB benar-benar terjaga untuk mengantar TGB sebagai pemimpin nasional.
Tidak boleh melakukan sesuatu yang bisa menghambat TGB melangkah sebagai pemimpin nasional. Indonesia ini sangat luas. Tokoh lain yang mungkin juga berkeinginan menjadi pemimpin nasional tidak sedikit. Bahkan bisa saja, mereka datang dari daerah-daerah yang dari sisi jumlah pemilih jauh lebih besar dari NTB. Bagaimana pun, persoalan elektoral bisa menjadi pertimbangan yang sangat penting.
Rakernas Partai Demokrat di NTB beberapa waktu lalu, sesungguhnya merupakan momentum yang sangat tepat dan strategis “membunyikan” TGB sebagai pemimpin nasional. Nama TGB memang bunyi. Tetapi mungkin saya keliru, cara mengelola TGB sebagai pemimpin nasional pada forum itu tidak begitu maksimal. Sehingga nama TGB tidak begitu menggetarkan. Nama Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) muncul sebagai tokoh muda yang disebut-sebut akan didorong Partai Demokrat untuk bertarung pada Pilpres, 2019. Tapi sudahlah.
Jika ada yang sependapat dengan saya soal ini. Kita penting belajar dari banyak peristiwa. Setiap momentum harus bisa dikelola dengan baik. Politik juga soal bagaimana cara mengelola dan memenangkan momentum. Sehingga TGB bisa didorong menjadi milik umat dan milik kita semua. Tidak sebatas milik partai.
Yang tidak boleh kita lupakan di dalam politik, bahwa politik adalah soal persepsi. “Pintu” membangun persepsi nasional untuk menjadikan TGB sebagai pemimpin nasional sesungguhnya sudah terbuka. Sehingga langkah “kecil” TGB dari Yogyakarta untuk menjangkau nasional menjadi menarik. Persoalannya, apakah TGB dan lingkarannya bisa mengelola “pintu” yang sudah terbuka itu dengan baik. Karena harapan menjadikan TGB sebagai pemimpin nasional itu, tidak saja datang dari NTB. Tetapi sudah mulai bunyi di luar NTB.
Buktinya, seperti cerita Farid Tolomundu, ketika TGB bersilaturahmi ke Ponpes Ibnu Abbas, Pimpinan Ponpes Ibnu Abbas mengatakan, dirinya dan komponen umat Islam di Yogyakarta, Solo dan sekitarnya memberi doa restu kepada TGB untuk memimpin umat. Karena itulah, kabar-kabar baik tentang TGB dari NTB harus bisa menjangkau dan menggetarkan nasional.
Salah satu pilihannya, TGB dan lingkarannya harus mau menghimpun dan mendengar banyak informasi. Harapannya, agar keputusan-keputusan yang diambil berkaitan dengan ikhtiar mendorong TGB sebagai pemimpin nasional tidak keliru. Termasuk dalam menentukan pilihannya pada Pilgub NTB mendatang.
Meski pun TGB tidak lagi sebagai Ketua DPD Partai Demokrat NTB, tetapi jika ada pendapat yang menyebutkan, bahwa pengaruh TGB masih kuat dalam menentukan siapa yang didorong sebagai Cagub dan Cawagub pada Pilgub NTB mendatang, tentulah tidak bisa disalahkan. Karena Pilgub NTB, bisa juga menjadi tolok ukur kepemimpinan TGB.
Sebagai bagian dari masyarakat NTB, tentu kita bangga jika TGB bisa menjadi pemimpin nasional. Karena dengan menjadi pemimpin nasional, TGB bisa berbuat dan melakukan yang terbaik untuk bangsa dan negara. Untuk itu, dukungan terhadap TGB sebagai pemimpin nasional harus bisa diupayakan menggelinding dan terus menguat. Sehingga nasional menempatkan TGB sebagai pilihan terbaik untuk menjadi pemimpin nasional. Semoga.
Penulis, Agus Talino (Pimpinan Redaksi Suara NTB)