Pada kamar ini begitu banyak cahaya. Bahkan lampion-lampion yang tadinya meredup kembali memantulkan cahaya karena hampir setiap tarikan napas,pasti terdetak keinginan untuk menjadikan Indonesia lebih baik. Meskipun dengan silang kawin mawin dalil-dalil suci yang kadang dilebihkan.
Pada kamar ini,lantunan-lantunan sholawat, zikir, dan bacaan Qur’an ialah bagian yang mengisi setiap percikan hari-hari.
Bagi dada yang beriman,kamar ini ialah kasturi untuk penciuman rindu surgawi. Bagi hati yang bertaqwa,kamar ini ialah kelokan sungai susu dan madu seperti yang dilukiskan Tuhan dalam firmanNya. Bagi pikiran yang beriman,kamar ini tempat Tuhan dirumuskan dengan firmanNya sendiri secara benar.
Kamar ini penuh sesak dengan lenguhan-languhan takbir seolah Indonesia memang wajib dibangunkan dari kegelapan dengan pekikan takbir seruan kebaikan dalam lima waktu sehari. Mungkin saja,dari kamar ini,Indonesia seperti ranting-ranting kering yang terbakar serat-serat undang-undangnya. Atau mungkin seperti ngarai yang kehabisan sumber mata air lalu mengering karena musim panas yang berkepanjangan. Atau mungkin Indonesia sudah membunuh ibu pertiwinya lalau menukarnya dengan boneka-boneka Cina atau menyulamnya kembali tapi seluruh anyamannya didatangkan dari Amerika.
Atau mungkin saja,dari kamar ini,Indonesia masa kini harus dibumihanguskan kemudian ditukar dengan Indonesia baru yang kiblat ibu pertiwinya kepada Tuhan. Memang banyak sekali kemungkinan karena di kamar ini memang banyak yang berilmu tinggi. Banyak cerdik pandai yang tak hanya indah ketika menuliskan lafaz firman Tuhan,namun juga fasih dan sahih ketika mengartikulasikan ayat-ayat Tuhan.
Pada kamar ini, waktu tak pernah mati. Detik-detik yang dilalui sepenuhnya ialah medan cahaya karena haqqul yaqin,semua yang berjiwa dalam kamar ini ialah pembela Tuhan meskipun Sang Khaliq Tak perlukan pejuang. Haqqul yaqin,semua yang menyemai dalam kamar ini ialah mereka abdi Tuhan sepenuh kaffah.
Dan di kamar itulah TGB berada. Dari kecil dia mengelap kamar itu agar tak ada sebesar biji zarroh pun nakjis menghinggapi. Ia mewarnai kamar itu dengan perjuangan gigih untuk mengenali alat-alat tersulit sekalipun untuk merumuskan kebesaran Tuhan. Ia bersujud dalam kamar itu agar terlatih menjadi sebenar-benarnya pembela yang haq. Kamar itu ialah saksi bagaimana TGB menjalani hidup yang pahit untuk menjadi berilmu agama. Bahkan bisa jadi di kamar itu TGB mengalami masa-masa chaos jiwa karena memang bintang tak dapat dihitung oleh ilmu manusia sehebat apa pun.
Dan tentu saja,di kamar itu pula TGB menggambar peta-peta Indonesia berdasarkan jejeran ribuan pulau. Meskipun malu-malu,mungkin Lomboklah sebagai lukisan pertama dalam bentuk centang perentang rasa kecil yang sedang menumbuhkan rasa besar hingga sebesar Indonesia. Hingga bisa sebesar dunia. Dan yang pasti, di kamar itu pulalah ia dinobatkan menjadi Tuan Guru Bajang agar benar-benar menjadi Tuan Guru,bukan sekadar sebagai Tuan Guru. Di kamar itu pulalah ia menjadi gubernur termuda di Indonesia.
Sampai akhirnya ia menjelajahi begitu banyak kamar kosong,begitu banyak kamar yang sesak oleh keganasan. Begitu banyak kamar yang ditumbuhi rumput-rumput kegemilangan masa depan Indonesia. Begitu banyak kamar kegelapan namun bersanding dengan kamar-kamar yang pencahayaannya sangat indah seperti kemilau bintang yang mengindonesia.
Beruntungnya ialah karena TGB berani menjelajah kamar-kamar itu yang masing-masing memberikan risiko tak terduga. Karena jika TGB tak ada keberanian,mungkin ia hanya mengenali kamar tempat 40an tahun tarikan napasnya mengibas debu-debu jejaring yang menjerumuskan. Dalam kurun masa selama itu ia sangat berhasil. Bahkan ia menjadi salah seorang terbaik dalam generasinya di kamar itu. Namun ternyata,sekelam-kelamnya kamar sebelah,ternyata dari situlah TGB melihat semburat tikungan dalam cahaya yang dipercikkan orang-orang yang bersamanya.
Ia tersentak ada keterbelahan di tengah-tengah kelokan sungai itu karena tunggalnya imajinasi tentang Indonesia.
“Jangan gunakan ayat-ayat perang.” Pekiknya dengan lembut karena dengan yakin menggumuli cabikan-cabikan ayat Tuhan,lalu oleh mereka yang sekamar begitu lama dengan TGB, meletakkan ayat-ayat itu secara berjauh-jauhan dengan konteks ruang dan waktu. Saat itu,ia ingin mengelak atau bahkan ingin memberikan rotan anyaman kepada mereka yang fasih berayat Tuhan. Namun pikir panjang,sabar pun membentang. Hingga masanya ketika pekikan ayat-ayat perang itu semakin diasah dan semakin tajam digunakan untuk mengubah keadaan yang tak sesuai keinginan mereka.
Dalam posisi ini,bukan TGB tak menyadari di kamar sebelah tak ada cela tak punya noda. Namun ketika ayat-ayat perang semakin meruncing tajam mengganas, TGB meyakinkan diri,ini saat berpijak pada kamar yang lain dengan tujuan sama: menghidupi Indonesia. Bukan membunuh Indonesia dengan ayat yang paling suci sekalipun.
Dan pada kamar itu sejatinya TGB sedang memperbaiki keadaan agar kamar yang dulu dibersihkannya dengan segenap jiwa tak terkubur sendiri oleh lafaz ayat perang yang diprematurkan.
Pada kamar yang baru ini,tidak mewujud TGB yang baru,melainkan TGB yang semakin menumpah darah Indonesia. TGB yang sudah lebih dari matang untuk mengindonesia.
Penulis, Salman Faris (Pengajar di kampus UPSI Malaysia)
Malaysia, 3 Agustus 2018