Mengikuti silaturahmi pondok pesantren Dr.TGH Muhammad Zainul Majdi di Mojokerto dan Jombang, banyak kejutan yang hadir. Meski baru pertama hadir di ponpes di Mojokerto, semua begitu akrab dan cair. Malah terkesan bukan pertemuan pertama. Apa gerangan penyebabnya?
Undangan acara Dr. TGH Muahmmad Zainul Majdi atau akrab disapa Tuan Guru Bajang (TGB) ke Ponpes Bahrul Ulum, Jombang sejatinya hanya haflatul kubro. Namun undangan silaturahmi bertambah ke banyak titik. Bahkan undangan pun hadir dari Mojokerto.
Adalah KH Muhammad Ahdal Shidqullah Amin pengasuh Ponpes Sawahan yang pertama mengundang. Kemudian bertambah ke Ponpes Masyithoh KH Abdul Wahid Rozak. Hingga akhirnya ditutup dengan silaturahmi dengan kyai kharismatik KH Chusain Ilyas, pengasuh Ponpes Al-Misbar.
Di awali dengan mengisi ceramah di Ponpes Masyithoh, Ngoro-Mojokerto. Ratusan wali santri dan warga sekitar hadir. Pengasuh ponpes KH Abdul Wahid Rozaq yang mengawali ceramah. Kyai ini menyampaikan bukti yang cinta Al-Qur’an dimuliakan itu nyata.
“Sopo wong nggembol (siapa orang membawa) Al-Qur’an, maka akan dimuliakan,” katanya. (Sabtu (22/7).
Buktinya nyata, sambungnya, dalam silaturahmi wali santri hadir Gubernur NTB Dr. TGH Muhammad Zainul Majdi, doktor ahli tafsir alumni Al-Azhar Mesir yang juga hafal Al-Quran.
“Niku sampun wonten buktinya (ini sudah ada buktinya). Bagaimana bapak dan ibu, masih ragu anaknya jadi pecinta Al-Qur’an,” sambungnya.
Ponpes yang fokus mendidik santri penghafal Al-Qur’an ini mengembangkan pola hafalan bertahap. Hafalan dimulai dari sekolah dasar.
TGB yang sedari awal menyimak ceramah dari sang kyai Ponpes Masyithoh, kembali mengulang penekanan untuk mencintai Al-Qur’an. Terpilihnya ia menjadi gubernur disebut tak lepas dari Al-Qur’an. Gubernur yang akrab disapa TGB ini bahkan langsung mengetes hafalan santri di depan jamaah yang hadir.
“Saya baca nanti sambungkan ya,” kata TGB.
Cucu Maulanasyaikh TGH M Zainuddin Abdul Majid ini mengetes hafalan dua santri dan satu santriwati. TGB salut dengan hafalan santri, ia memberi motivasi supaya hafalan ditingkatkan terus. Berbahagia orang tua yang memiliki anak seorang penghafal Al-Qur’an.
Begitu acara usai pengurus ponpes mengajak ramah tamah. Di sela-sela obrolan putri Kyai Wahid berbincang dengan TGB dengan diiringi dua anak perempuan yang mahir berbahasa Belanda. Tak lama TGB berbincang dengan seseorang melalui ponsel.
“Ini teman selama di Mesir. Setelah 20 tahun silaturahmi disini,” ucap TGB.
Usai dari Ponpes Masyithoh Gubernur NTB dua periode ini langsung berpindah ke Ponpes Sawahan. TGB langsung bertemu dengan KH Muhammad Ahdal Shidqullah Amin, salah satu pengasuh ponpes. Obrolan keduanya begitu akrab. Samar-samar sempat terdengar kata-kata soal guru yang sama. Perbincangan keduanya berakhir begitu iqamat Asar berkumandang.
Usai Salat Asar yang diimami TGB berakhir, acara berlanjut dengan ceramah. Ditengah ceramah akan dimulai, pria sepuh berjubah dengan jenggot putih muncul. Ia memecah deretan santri. Begitu memasuki majelis, dengan takzim TGB berdiri dan mencium tangannya.
Sosok pria sepuh itu adalah KH Ali Masadi. Kyai yang cukup disegani di sawahan. Mengejutkan, kyai ini tampak langsung begitu akrab dengan TGB. Dikatakan, ia mengenal kakek TGB.
“Alim Masya Allah. Saya mengenal baik dengan kakek beliau. Kami di tahun 1993 siapapun ulama akan kami datangi. TGH M Zainuddin Abdul Majid diminta ijazah yang sanad sampai ke Nabi Khidir dan Nabi Muhammad SAW,” katanya.
Kepada santri yang hadir Kyai Ali menyebut, TGB adalah bukti orang yang hafal Al-Qur’an itu berilmu dan bisa menjadi gubernur.
“Kaki di tanah, tapi cita-cita setinggi bintang Tsuroiyya,” sambungnya.
Dalam ceramahnya, TGB tak bisa menutupi bahagianya. Di Ponpes Sawahan bisa menemukan satu pipa ilmu. Ilmu ada pipanya (muttasil) dan tidak ada pipanya. Sanad ilmunya jelas, sampai ke shohibul ilmu.
“Saluran ilmu itu seperti air yang mengalir. Ini akan jernih dan tak ada yang dirubah seperti apa adanya,” katanya.
Dijelaskan, rantai ilmu bagian dari agama. Sanad ilmu rusak, bisa bicara apa adanya. Apalagi bila buka internet.
“Banyak sekali orang berfatwa, Wallahu alam sanad ilmunya. Ada yang berdasarkan ilmu, tapi tidak sedikit yang ada sekarang tak jelas sanadnya,” sambungnya.
TGB menilai Ponpes Sawahan ada isinya. Bila tiba waktunya akan kian hebat dibanding sebelumnya. Dalam kesempatan tersebut TGB memberi ijazah kepada santri yang hadir. Ijazah ini yang diberi oleh Maulanasyaikh TGH M Zainuddin Abdul Majid.
******
Setelah mendatangi dua pondok pesantren di Mojokerto, Jawa Timur. Gubernur NTB TGH M Zainul Majdi mendatangi pondok pesantren terakhir. Lokasinya cukup jauh. Siapa kyai di pondok terakhir ini?
Pertemuan Gubernur NTB TGH M Zainul Majdi dengan pengasuh Ponpes Sawahan begitu mesra. Sayang, waktu begitu cepat berlalu. Petang telah tiba. Gubernur yang akrab disapa TGB ini pun harus melanjutkan lagi perjalanan. Ponpes yang dituju adalah Ponpes Al-Misbah, Karangnongko, Mojokerto. Perjalanan ditempuh cukup lama. Silih berganti memasuki jalan sempit. Hingga berakhir melalui rel kereta api. Setelah melewati rel kereta api ini, akhirnya TGB tiba di ponpes tersebut.
Tanpa menunggu lama Gubernur NTB dua periode ini langsung berlari menuju bangunan ponpes. Ruangan dengan tiang bambu dan dinding bambu. Ada panjangan kepala kijang diatasnya. Karpetnya berwarna hijau.
“Asslamualaikum warahmatullahi wabarakatuhu,” kata TGB.
Suasananya sepi. Melihat itu KH Muhammad Ahdal Shidqullah Amin yang mendampingi TGB langsung mencari tahu. Diketahui, kiai di ponpes itu tengah salat. TGB pun kemudian keluar rumah menuju masjid di komplek pesantren. Bangunannya unik, karena lantainya masih dari kayu. Usai salat, TGB pun kembali ke ruangan awal tadi. Dengan mengumbar senyum, TGB pun bertanya pada tiang penyangga ruangan.
“Ini dari bambu ya, ” tanya TGB.
Tuan guru kelahiran 1971 ini pun sabar menanti. Tak begitu lama, sosok pria sepuh muncul. Hadir dengan batik lengan pendek dan kopiah putih. Sederhana, tampilan bersahaja. Ia adalah KH Chusain Ilyas, Rais Syuriah NU Kabupaten Mojokerto. TGB langsung mencium tangannya.
“Alhamdulillah, alhamdulillah. Suwe yo (lama ya),” katanya.
KH Muhammad Ahdal Shidqullah Amin yang mendampingi TGB pun langsung berdiri dan mengambil asbak. Kiai sepuh yang akrab disapa Mbah Chusen langsung menyalakan rokoknya. TGB yang melihat itu langsung bertanya pada Mbah Husen.
“Berapa usianya Kiai? ” tanya TGB.
Mbah Chusen menyebutkan usianya masih termasuk muda, bila dibanding abahnya yang meninggal 100 tahun lebih. Belum pembicaraan berlangsung panjang, Pengasuh Ponpes Masyithoh KH Abdul Wahid Rozaq pun hadir.
“Mbah Yai ini Gubernur NTB yang hafal Al-Qur’an,” kata Kiai Wahid.
“Raja Arab itu juga hafal Quran,” kata Mbah Chusain terkekeh.
Tokoh NU sepuh Mojokerto ini bercerita kalau hidup itu yakin pada Allah maka hasilnya baik. Ia ingat betul saat perang dahulu banyak bom jatuh. Namun tidak ada satupun yang mengenai keluarganya. Begitu pula saat melintasi tentara Belanda.
“Di bom tidak apa-apa. Pas melewati tantara juga aman,” beber Mbah Husen.
TGB pun meminta petuah pada Kyai kharismatik ini. Mbah Chusen mengatakan, hidup itu harus asshofa, al wafa, dan al jafa. Asshofa artinya belajar membersihkan hati. Al-wafa berarti sama kata dengan perlakuan. Al jafa tidak risau antara pujian dan cacian.
“Pujian karo cacian iku podo wae, podo-podo eleke (pujian dengan cacian sama saja. Sama-sama jeleknya),” pesannya.
Belum juga bicara dilanjutkan, Kyai Wahid langsung membisikkan sesuatu pada Mbah Chusen. Tidak begitu lama, Kiai Wahid bersama Mbah Chusen, dan TGB minta waktu untuk masuk ke dalam. Rombongan yang berkumpul pun menunggu. Tidak ada penjelasan apa yang dibicarakan. Sekitar 10 menit kemudian, mereka bertiga keluar. Senyum lebar dan tiada kata.
TGB pun pamit undur diri, sebelumnya kiai sepuh diberi kenang-kenangan. Saat TGB hendak pamit Mbah Chusen dan mencium tangan, Mbah Chusen juga merebut tangan TGB. Mereka berdua berusaha saling mencium sampai ke tanah.
“Tidak, tidak,” kata TGB terus menarik.
Rebut-rebutan saling cium tangan ini berlangsung terus. Tidak ada penjelasan panjang dari TGB soal pertemuan itu. Di kalangan ponpes, cium tangan pada ulama atau ahli ilmu adalah bentuk kerendahan hati. Tuan guru 46 tahun ini menyebut tidak boleh main-main dengan Mbah Chusen. Yang jelas, Mbah Chusen bukan kiai biasa.
“Saya didoakan saja, sambil lihat silsilah beliau,” ucapnya.
Menurut keterangan yang dihimpun, Mbah Chusen keturunan Ronggowarsito. Silsilahnya Ronggowarsito, Nur Fatah, Nur Ibrahim, Syaikh Yasin Surakarta, Nur Ngaliman, sampai terakhir di Mbah Chusen.
Penulis, Febrian Putra (Santri Jombang & Jurnalis)