TGB, begituah populer nama beliau disingkat bahkan lebih dikenal. Muhammad Zainul Majdi seolah menjadi nama ke dua. Yang utama adalah TGB itu. Istilah TGB, telah merajai seluruh nama kebesaran yang tersebar di seantero Nusa Tenggara Barat (NTB). Hampir tidak ada nama agung yang lain. Tidak ada sebutan yang lebih menggetarkan jiwa yang hampa, kering dari agama, meronta terhadap berbagai ketidak beresan negeri yang tercinta, Indonesia.
TGB menjadi sebutan yang memang luar biasa. Sebutan yang mengingatkan orang akan keemasan Islam, yang membakar kerinduan anak bangsa akan terwujudnya negeri yang “Baldatun thoyyinbatun warobbun ghafur” sebagai firman Tuhan di dalam kitab suci Al-Qur’an. Istilah TGB menemukan tempat bermaqomnya yang tepat. Tersiram dan terawat sangat apik oleh keluasan ilmu agama, ketinggian akhlaq, kelapangan toleransi, kecintaan kepada negeri.
TGB menjadi seumpama prolog kebesaran disetiap karya agung para pujangga, ilmuan, nasionalis, ulama. TGB sekias Mawar yang tumbuh indah di tengah gurun pasir nan tandus, membawa harapan dan mengharumkan hingga ke pelosok negeri. TGB membawa harapan baru bagi Indonesia. Harapan untuk maju dan jaya di antara bangsa-bangsa lain di dunia. Menjadi sorot pandang para pemimpin negara, mengajak sebagai mitra kemakmuran bersama. Menjadi sumber inspirasi akademis yang tidak akan kunjung kering dalam kajian-kajian tematis berbagai ilmu sosial politik, hukum pertahanan dan keamanan, budaya dan agama.
TGB telah menjadi istilah lokal yang menasional, menyeruak di celah-celah dunia Android yang lentur, tersosialisasikan dengan sangat mudah dan bermartabat. TGB ada di sini, milik NTB dan Indonesia. TGB adalah “Fattah Sasak bi Indonesia”. Dari Sasak untuk seluruh bangsa. TGB benar-benar menemukan maqomnya yang sangat tepat. Ini bukan lagi soal usia, tetapi tentang ketinggian dan kedalaman ilmu dan pengetahuan agama dan Tata negara yang menyatu, tentang sikap Washatiyah berbangsa, Religius Nasionalis. Dahlan Iskan menyebutnya sebagai Manusia komplit.
Bolehlah saya berdendang sejenak. Dzikir atas masa lalu, di penghujung dekade tahun 1990han. Di saat itulah, TGB muncul atau dimunculkan oleh takdir negeri. Saya hanya mendengarnya, tidak tahu bagaimana wajah dan pisiknya. Pokoknya TGB memang Top, begitulah cerita berapologi. Saya pun masuk ikut mendaftar di Ma’had Darul Qur’an Wal Hadits Al-Majidiyyah As-Syafi’iyyah (MDQH) Nahdlatul Wathan Pancor pada tahun 1999. Di sebuah acara di Wanasaba Lombok Timur, disitulah saya pertama kali melihat wajah seorang TGB.
Gagah berkulit bersih dengan busana ala Timur Tengah. Beliau memberikan pengajian, adem. Beliau memberikan nasehat, santun. Beliau tampil, mengagumkan. Bisa jadi banyak orang tua tetiba berhayal, “Mengapa tidak jadi menantuku aja ya?”. Seterusnya, sayapun banyak ikut “ngiring” pengajian beliau di banyak tempat di seluruh pelosok Lombok, menemani Tim Wasiat MDQH. Saya melihat antusias masyarakat menyambut beliau.
Tatapan wajah mereka menggantungkan harapan akan masa depan mereka sebagai warga sebuah daerah kecil yang terpinggirkan. Saya pun pernah menyaksikan, bagaimana beliau di atas panggung yang (maaf) hanya beratap terpal yang bocor dibawah guyuran hujan yang memang tidaklah terlalu deras, hingga tetesan air sempat pula jatuh di pakaian beliau. Panitia sigap hendak memperbaiki.
Beliau melarang agar acara yang berlangsung tidak terganggu. Beliau bukan tipe orang yang gila hormat. Sesekali beliau seperti berbisik kepada Tuan Guru Haji Muh. Yusuf Ma’mun (Amid MDQH) sebagai yang selalu setia mendampingi beliau. Belakangan kami ketahui, beliau berbisik hanya ingin diingatkan istilah bahasa sasak terhadap suatu persoalan hukum dalam kajian tematis Tafsir Al-Qur’an. Di mobil TGB tidak pernah sepi dari keberadaan kitab-kitab kelasik, selalu dibaca.
TGB Harapan baru bagi perubahan suatu bangsa
TGB, begituah populer nama beliau disingkat bahkan lebih di kenal. Muhammad Zainul Majdi seolah menjadi nama ke dua. Yang utama adalah TGB itu. Istilah TGB, telah merajai seluruh nama kebesaran yang tersebar di seantero Sasak Lombok. Hampir tidak ada nama agung yang lain. Tidak ada sebutan yang lebih menggetarkan jiwa yang hampa, kering dari agama, meronta terhadap berbagai ketidak beresan negeri yang tercinta, Indonesia.
TGB menjadi sebutan yang memang luar biasa. Sebutan yang mengingatkan orang akan keemasan Islam, yang membakar kerinduan anak bangsa akan terwujudnya negeri yang “Baldatun thoyyinbatun warobbun ghafur” sebagai firman Tuhan di dalam kitab suci Al-Qur’an. Istilah TGB menemukan tempat bermaqomnya yang tepat.
Tersiram dan terawat sangat apik oleh keluasan ilmu agama, ketinggian akhlaq, kelapangan toleransi, kecintaan kepada negeri. TGB menjadi seumpama prolog kebesaran di setiap karya agung para pujangga, ilmuan, nasionalis, ulama. TGB sekias Mawar yang tumbuh indah di tengah gurun pasir nan tandus, membawa harapan dan mengharumkan hingga ke pelosok negeri.
TGB membawa harapan baru bagi Indonesia. harapan untuk maju dan jaya di antara bangsa-bangsa lain di dunia. Menjadi sorot pandang para pemimpin negara, mengajak sebagai mitra kemakmuran bersama. Menjadi sumber inspirasi akademis yang tidak akan kunjung kering dalam kajian-kajian tematis berbagai ilmu sosial politik, hukum pertahanan dan keamanan, budaya dan agama.
TGB telah menjadi istilah lokal yang menasional, menyeruak di celah-celah dunia Android yang lentur, tersosialisasikan dengan sangat mudah dan bermartabat. TGB ada di sini, milik Sasak dan Indonesia. TGB adalah “Fattah Sasak bi Indonesia”. Dari Sasak untuk seluruh bangsa. TGB benar-benar menemukan maqomnya yang sangat tepat. Ini bukan lagi soal usia, tetapi tentang ketinggian dan kedalaman ilmu dan pengetahuan agama dan Tata negara yang menyatu, tentang sikap Washatiyah berbangsa, Religius Nasionalis. Dahlan Iskan menyebutnya sebagai Manusia komplit.
Bolehlah saya berdendang sejenak. Dzikir atas masa lalu, di penghujung dekade tahun 1990han. Di saat itulah, TGB muncul atau dimunculkan oleh takdir negeri. Saya hanya mendengarnya, tidak tahu bagaimana wajah dan pisiknya. Pokoknya TGB memang Top, begitulah cerita berapologi. Sayapun masuk ikut mendaftar di Ma’had Darul Qur’an Wal Hadits Al-Majidiyyah As-Syafi’iyyah (MDQH) Nahdlatul Wathan Pancor pada tahun 1999. Di sebuah acara di Wanasaba Lombok Timur, di situlah saya pertama kali melihat wajah seorang TGB.
Gagah berkulit bersih dengan busana ala Timur Tengah. Beliau memberikan pengajian, adem. Beliau memberikan nasehat, santun. Beliau tampil, mengagumkan. Bisa jadi banyak orang tua tetiba berhayal, “Mengapa tidak jadi menantuku aja ya?”. Seterusnya, sayapun banyak ikut “ngiring” pengajian beliau di banyak tempat di seluruh pelosok Lombok, menemani Tim Wasiat MDQH. Saya melihat antusias masyarakat menyambut beliau. Tatapan wajah mereka menggantungkan harapan akan masa depan mereka sebagai warga sebuah daerah kecil yang terpinggirkan.
Saya pun pernah menyaksikan, bagaimana beliau di atas panggung yang (maaf) hanya beratap terpal yang bocor dibawah guyuran hujan yang memang tidaklah terlalu deras, hingga tetesan air sempat pula jatuh di pakaian beliau. Panitia sigap hendak memperbaiki. Beliau melarang agar acara yang berlangsung tidak terganggu. Beliau bukan type orang yang gila hormat.
Sesekali beliau seperti berbisik kepada Tuan Guru Haji Muh. Yusuf Ma’mun (Amid MDQH) sebagai yang selalu setia mendampingi beliau. Belakangan kami ketahui, beliau berbisik hanya ingin diingatkan istilah bahasa sasak terhadap suatu persoalan hukum dalam kajian tematis Tafsir Alqur’an. Di mobil TGB tidak pernah sepi dari keberadaan kitab-kitab kelasik, selalu dibaca.
Salah satu cuplikan peristiwa yang selalu saya ingat tentang TGB. Pagi itu, Sabtu di awal bulan Juni 2002, tiba-tiba beliau muncul di musholla Al-Abror. Beliau memberikan kuliah umum, “Al-Azkar”. Memang dari awal, kami sudah dapat informasi dari Gelang bahwa beliau akan datang dari Mesir untuk menghadiri dzikrol Hauliyyah MDQH tahun itu. Hari itu adalah hari-hari terakhir kegiatan Ta’mir Dzikrol hauliyyah MDQH.
Selaku Ketua panitia, saya suruh teman untuk segera mengambil surat undangan penutupan kegiatan pada malam nanti. Setelah selesai pengajian, undangan itupun kami berikan. Beliau menerimanya. Saat itu, beliau tidak sepopuler hari ini. Hanya kami yang banyak diberikan kuliah-kuliah umum jika beliau datang dari Mesir. Dua hari sebelumnya, saya juga sudah buat Radiogram di radio Idola bahwa penutupan kegiatan dzikrol akan dihadiri langsung oleh TGB. Benar saja, jamaah sangat antusias hadir. Tapi hingga pukul 19.30 TGB belum juga muncul.
Dibonceng seorang anggota Panzik, saya ke Gelang menghadap ke kediaman beliau. Di salah satu bilik samping gedeng, hanya ada TGB, Bpk Syamsuluthfi dan saya. Saya mulai menyampaikan maksud;
“Ustadz. Di kampus Ma’had hiziban sudah akan berakhir. Jamaah sudah menunggu. Ustadz kami minta datang menutup kegiatan”
“Undangan kalian baru saya terima tadi pagi. Saya sudah janjian untuk ketemu dengan wartawan malam ini”
“Benar. Undangan baru kami berikan tadi pagi. Tetapi kami sudah kadung buat radiogram bahwa yang akan menutup kegiatan Ta’mir dzikrol hauliyyah, ustadz sendiri”
“Minta Tuan Guru Yusuf Ma’mun aja. Sampaikan salam saya”
“Jamaah sudah menunggu dari Maghrib.
Mereka bukan menunggu ‘amid Ma’had. Bukan menunggu Ketua Panzik. Mereka menunggu Tuan Guru Bajang”. Saya masih kukuh. Pokoknya saya bertahan. Saya tidak mau ilak di depan jamaah. Itu prinsip saya malam itu. Bapak Syamsuluthfi hanya diam memandang dialog kami. Tiba-tiba TGB menoleh ke kakaknya
“Kak Fi. Sudah jam berapa?”
“Jam Delapan kurang sedikit”
“Bagaimana dengan wartawan itu?”
“Sudahlah. Datang saja ke kampus Ma’had. Biar saya yang nunggu wartawan itu di sini”.
Sayapun tersenyum girang. Bapak Syamsu Luthfi ternyata mau membantu saya. TGB kemudian minta pembantunya diambilkan kunci mobil.
“Ayo Syamsudin, kita berangkat”, beliau sigap menerima kunci mobil. Langkah beliau cepat dan panjang. Saya berlari-lari kecil di belakang. Saya naik di belakang, TGB sendiri yang nyetir. Bapak Syamsu Luthfi melepas kami di garasi. Mobil Panther itu di kendarai TGB. Melaju sangat kencang menerobos jalan Sudirman belok kiri melewati Jalan Cut Nyak Dien hingga ke kampus Ma’had.
Usia TGB waktu itu baru genap 30 tahun. Sedang sangat bertenaga, bersemangat, idealis. Retorikanya cukup kuat menguji kemampuan diplomasi seorang Ketua Panzik. Setelah kejadian itu saya banyak belajar dari setiap kuliah umum yang beliau sampaikan di Al-Abror.
Acara malam itu berjalan lancar. Hadir mendampingi TGB yaitu TGH Muh.Yusuf ma’mun dan TGH Hudatulloh. “Terimakasih Bapak TGB. Telah berkenan menghadiri penutupan kegiatan kami malam ini. Acara kegiatan yang kita tutup malam ini, akan menjadi tonggak baru bagi sejarah kebangkitan Ma’had di era Milenium ke-3 saat ini”. Itulah cuplikan kata pembuka saya selaku Ketua Panzik.
Denpasar, 2 April 2018
Syamsudin M