Indonesia, negara khatulistiwa yang mendapat anugerah dari Sang Maha Kuasa. Apapun ada. Tambang, pertanian, perkebunan, peternakan, hutan, pariwisata. Lengkap.

“Percuma bro, tetap wae Impor. Awak dewe tetap miskin,” kata Cipto wiraswasta di Manyar, Surabaya ini.

Kopi hitam berasa pahit dengan celetukan pembuat roti kering rumahan ini. Ingatan meluncur ke belakang, saat harga garam, cabe, sampai beras mahal. Daging sapi ikut-ikutan melambung. Kok bisa ya? sampai akhirnya harus impor. Masalah impor Indonesia selalu jadi perbincangan panas. negeri gemah ripah loh jinawi, seolah sulit berdikari. Sementara disaat yang sama, ketika impor tak dilakukan. Kebutuhan dalam negeri melambung. Masyarakat jadi korban.

Bisa jadi kebijakan pemerintah belum berjalan pada rel yang pas. Sebelum kita kritik pemerintah. Meski begitu, kita juga harus noto awak (menata badan). Sampai sejauh mana memahami konsep berdikari. Berdiri di atas kaki sendiri. Konsep yang kencang di dengungkan saat negara ini dibangun. Proklamator Indonesia Soekarno-Hatta, dua tokoh yang menumbuhkan optimisme, meninggalkan sikap inlander. Soekarno berani terang-terangan mendorong masyarakat menolak komoditi luar. Mencintai hasil dalam negeri. Sementara Hatta gotong royong ekonomi dengan konsep ekonominya yaitu Koperasi.

Ditengah pikiran yang mengawang dan menterjemahkan kebijakan negeri ini, layar handphone menyala. Kawan dari NTB bercerita bercerita kalau kalau Tuan Guru Bajang (TGB) HM Zainul Majdi Gubernur NTB itu tengah diserbu tudingan-tudingan sepihak.

“Dibilang menekan NU lah, mematikan kader NU lah. Disaat bersamaan disebut fitnah Bu Susi,” tulisnya lewat WhatsApp.

Kejengkelan kawan yang simpatisan seperti ini, barangkali sangat banyak dan luas. Namun, apa simpatisan harus larut dengan fitnah semacam ini?sadarilah, kalau TGB memang menekan ormas tertentu di NTB, kenapa baru sekarang ada media yang menyerang?disaat nama gubernur santri ini diperhitungkan dalam pilpres dibawah Jokowi, Prabowo, dan Gatot. TGB masuk top five.

Disaat yang sama, silaturahmi dengan sesepuh NU mengalir begitu baik. Bagusnya memang tak perlu larut oleh gegap gempita portal “haram”. Portal yang kerjanya menebar fitnah. Begitu pula dengan terkait tudingan pada Bu Susi. Kok pada banyak yang repot dan sensi, lha Bu Menteri biasa saja kok. Apa namanya kalau bukan netizen nyinyir.

Baiknya kita menghubungi rekan di NTB, mendengar sisi lain TGB diluar sosoknya sebagai ulama. Selama ini namanya menggaung karena lulusan Al-Azhar, Mesir dan hafal Quran. Tentu pencapaian pembangunan daerah selama dua periode memimpin bisa jadi sumber informasi. Dan tentu ini sekaligus mencari pandangan soal ketergantungan impor negeri ini.

“Ada banyak capaian beliau Cak. Yang paling baru hasil dari Bank Indonesia program TGB soal sapi, jagung, rumput laut. Sampeyan saya kirim link beritanya saja ya,” begitu cerita relawan dari NTB.

Dari cari-cari data di mesin pencarian, saat periode pertama TGB di NTB, bersama H Badrul Munir mencetuskan program sapi, jagung, dan rumput laut. Di awal memang banyak yang mencibir dan apatis. Maklum saja, mental sesungguhnya pembentuk arah pikiran dan kerja keras.

Hasilnya bisa dilihat sekarang. Dari berita salah satu media online menuliskan dalam keterangan BI menyebut, pertumbuhan ekonomi NTB tanpa tambang pada 2017 lebih tinggi dibanding tahun sebelumnya sebesar 5,72 persen.

NTB mampu memproduksi jagung sebanyak 1,2 juta ton dari target 1,1 juta ton pada 2016. atau meningkat sebesar 133,16 persen dari produksi pada 2015. Angka produksi bertambah pada 2017 menjadi 1,5 juta ton atau meningkat 233,66 persen dari realisasi produksi tahun sebelumnya. BI NTB, telah melakukan analisis pemetaan indikator penentuan IPKD pada 31 industri berdasarkan hasil Survei Statistik Industri Manufaktur Besar dan Sedang 2014, yang dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu agroindustri, manufaktur dan jasa.

Dari hasil pemetaan tersebut, komoditas padi, sapi, jagung, dan rumput laut termasuk dalam kuadran yang unggul dari segi prospek dan potensi. Di samping sektor pariwisata pantai.

Hasil pemetaan tersebut juga selaras dengan program Pijar.

Menarik mencermati hasil program TGB diatas. Memang capaian itu bukan kerja pribadi TGB. Itu hasil kolektif. Di lain sisi, patut diperhatikan adalah keyakinan diri untuk berdikari. Kepercayaan diri dan keyakinan kalau “kita mampu” itu adalah modal besar. Rasa rendah diri dan minder, sesungguhnya masalah terbesar yang dihadapi oleh anak bangsa.

Meminjam istilah sepak bola, butuh playmaker handal untuk bisa mengalirkan bola sebaik mungkin ke gawang lawan. Playmaker yang baik, tak bekerja sendirian, tujuannnya hanya satu menghasilkan gol dan timnya menang. TGB termasuk playmaker handal dalam memotivasi masyarakat. Jadi, sekarang ini tak usah risih kepada kelompok yang mencaci dan menyerang TGB. Nama beliau baik, ya pasti akan tetap baik. Kalau di Surabaya, ada istilah ngunduh uwoh ing pakerti. (*)

Cak Iwan Bejo

Pin It on Pinterest

Shares
Share This