Dalam tradisi Sumbawa dikenal luas, apa yang disebut “Bagesa,” sebenarnya mekanisme “Bagesa” sebagai nilai otentik masyarakat Sumbawa untuk menyampaikan kritik terhadap perilaku. Pola Bagesa mirip gaya “ngewongke” (Jawa (memanusiakan manusia) yang merupakan kritik ontologis terhadap birokrasi, organisasi sipil atau partai atau saja memperbaiki masyarakat.

“Bagesa” ialah kritik atas modernisasi sebagai penyebab orang tercerabut dari akar ontologis sebagai orang Nusa Tenggara Barat yang menyadari atas peran dan potensi diri, sebagai warga biasa atau pun pejabat. Saat ini kaum politik santri perlu memahami arti dari Bagesa ini sebagai bagian kritik terhadap kegagalannya.

Tuan Guru Bajang berada dalam nilai Bagesa itu, walaupun secara kultural dan etnik bukan berasal dari Sumbawa. Tetapi, nilai-nilai yang diterapkan oleh Tuan Guru Bajang dalam menyampaikan kritik adalah sesuai realitas. Semisal: makna kritik Tuan Guru Bajang dalam peningkatan ekonomi Nusa Tenggara Barat yang disampaikan di depan Presiden Joko Widodo saat berlangsungnya Hari Pers Nasional disekitar Kute Mandalika Lombok Tengah. Sudah tentu nilai pesan itu termaktub dalam kritik.

Namun, kritik itu bukan perwakilan dari basis politik santri, tetapi lebih pada pemaknaan terhadap respon santri akan situasi aosial. Persoalan kegagalan tampil elit santri dari sejak dulu dipuncak kekuasaan, padahal 90% muslim, adalah bentuk lain dari kritik modernisasi dan doktrin syariah yang kolot. Bahkan sejak Indonesia merdeka, tidak satu pun partai Islam memenangi pemilu, juga dalam banyak pemilukada di Nusantara.

Sementara kritik kegagalan reposisi kepemimpinan santri diruang publik negeri ini, dijawab Tuan Guru Bajang dengan menghadirkan peran-peran masyarakat Islam. Tuan Guru Bajang adalah fenomena anomali dimana orang dari lingkaran terdalam kelompok santri modernis sukses mempimpin Nusa Tenggara Barat sebagai Gubernur terbaik yang mayoritas santri tradisional.

Tradisi santri bagi publik dihidupkan basis ontologis kesantrian; kemanusiaan, nilai kebaikan, keadilan, dan kejujuran. Bagi publik bahwa nilai substantif, menolong sesama dengan meggerakkan moral cinta kasih bagi yang menderita dan terlantar. Maka nilai ontologis Islam dan kesantrian harus berdasar pada: kemanusiaan, kesejahteraan sosial-ekonomi, dan kesehatan.

Siapa saja, pribumi atau bangsa asing, Islam atau lain agama diundang terlibat dalam berbagai aksi kemanusiaan. Semua dilakukan bukan untuk mengubah keyakinan keagamaan, tapi semata bagi kemanusiaan yang dipahami dari ajaran Islam.

Otentisitas Kesantrian: merupakan kepedulian pada penderitaan sesama akibat kemiskinan dan kebodohan. Sebagaimana tulisan sebelumnya tentang “Revolusi Pancor” (Baca: Rusdianto Samawa, Revolusi Pancor), semua dilakukan bukan untuk pamer kekuasaan, tapi guna memompa semangat kepedulian melalui berbagai tahapan kebijakan.

Tuan Guru Bajang sangat sering mengajak warga masyarakat Nusa Tenggara Barat keluar dari ketertinggalan agar dapat kembangkan diri secara otentik-ontologis. Untuk memahami itu lebih lanjut, maka perilaku politik Tuan Guru Bajang dalam dinamika politik lokal dan nasional, ada baiknya kita baca lebih dahulu dinamika politik dan kultur yang melatarbelakangi politik santri seperti dimaksudkan Clifford Geetrz.

Bagi Geetrz, perilaku sosial politik santri sebagai mayoritas penduduk negeri ini harus dipahami dari dimensi sosio-kultural pemeluk Islam tersebut. Secara sosio-kultural, sala satu varian kelompok pertama dalam politik adalah santri yang menyadari identitasnya sebagai muslim. Dari sini, kelompok santri adalah komunitas muslim paling sadar atas kewajiban teologisnya dalam penerapan ajaran Islam dalam kehidupan sosial keseharian, juga kehidupan politik kenegaraan.

Tuan Guru Bajang berasal dari kelompok “Kesantrian” kemudian dikenal kaum “Substansialis” yang lebih melihat nilai-nilai yang mendasari doktrin ajaran syariah halal-haram dan menjalin hubungan sosial-kemanusiaan. Jika kaum substansialis lebih terbuka dalam hubungan sosial dengan beragam kelompok dan kepercayaan.

Menurut Clifford Geetrz komunitas santri terbagi dalam dua habitus yakni sosio-kultural dan pekerjaan-tempat tinggal; santri modernis- tradisionalis. Keduanya berbeda afiliasi dan artikulasi politik, tapi sejalan mengenai nilai dan hubungan sosial yang luas. Ajaran Islam yang tersusun secara baku dalam sistem syariah atau fikih melandasi hubungan sosial santri itu secara relatif tertutup terhadap dua kelompok lain yang lebih dekat dengan sistem nilai.

Kecenderungan kepemimpinan pemerintahannya berdasar doktrin syariah membuat aktivis politik santri, sulit memperoleh posisi dominan dalam dinamika politik nasional. Partai kaum santri selalu gagal memperoleh dukungan mayoritas pemilih, meski mayoritas pemilih pemeluk Islam. Demikian pula dengan kemampuan aktivis santri untuk tampil di puncak kekuasan pemerintahan, ditingkat lokal atau nasional. Tuan Guru Bajang adalah anomali kemampuan elite santri modernis di dalam merebut dan memelihara kekuasaan yang telah diraih.

Kalau dasarkan pada argumentasi Geertz, maka santri diposisi sedang dipuncak eksperimen “Politik Sukarela” dalam logika posmo berdasarkan pengalaman politik bangsa Indonesia. “Tidak ada makan siang gratis”, begitu sering kita dengar saat diskusi di media tv dengan tema pemilu.

Kemustahilan “politik sukarela” bagai kemustahilan agama baru di negeri ini. Orang pun percaya bahwa keikhlasan atau ke-sukarelaan memang ada dan bisa dilakukan. Bagaimana laku itu dilakukan di tengah politik transaksional yang sudah menjadi  ”tradisi” di tiap kali perhelatan politik negeri ini, itulah yang membuat banyak orang ragu.

Seharusnya, modal “Otentikasi Kesantrian” yang memiliki nilai: Keadilan, Kemanusiaan dan Humanis menjadi motor penggerak kaum santri untuk melihat masa depan politik bangsa yang berada ditangan mereka. Semoga TGB dapat semakin tajam melihat hilal politik santri ini sebagai basis kekuatan Islam.

Penulis, Direktur Eksekutif Global Base Review (GBR)

Sumber, lensantb.com

Pin It on Pinterest

Shares
Share This