Meneruskan silaturahmi Maulanasyeikh dan Mbah Ma’some pendiri Nahdlatul Wathan TGKH M Zainuddin Abdul Madjid memiliki ikatan emosional dengan ulama Lasem. Hubungan tersebut terjaga hingga KH Ma’soem Lasem tiada. Kisah dua ulama ini pun terjaga hingga kini.
Ceramah subuh Gubernur NTB TGB HM Zainul Majdi di Masjid Jami Lasem cukup menyita perhatian. Jamaah serius mendengarkan tiap untaian kalimat dari gubernur dua periode NTB ini. Di penghujung kuliah subuh, sesepuh Masjid Jami Lasem, yang juga cucu KH Ma’soem Lasem, KH Syihabuddin Ahmad Nadzir diberi kesempatan untuk memberi sambutan. Minggu (18/2) di Ponpes Al-Hidayat.
Kiai sepuh ini berkisah, bila hubungan Lasem dan Lombok sudah terjalin puluhan tahun silam. Bila di Jawa ulama dikenal dengan kiai, maka di Lombok disebut tuan guru. Dan tuan guru yang cukup dikenal baik oleh KH Ma’soem Lasem atau Mbah Ma’soem adalah TGKH M Zainuddin Abdul Madjid yang merupakan pendiri Nahdlatul Wathan (NW).
“TGKH M Zainuddin Abdul Madjid ini baru ditetapkan sebagai pahlawan nasional. Kakek saya (Mbah Ma’soem) dahulu pernah datang ke ponpes beliau,” ceritanya.
Meski bila merunut usia, Mbah Ma’soem lebih sepuh, tak menghalangi niat pendiri Ponpes Al-Hidayat ini silaturahmi ke Selong, Lombok Timur. Kedatangan kala itu mendapat sambutan luar biasa.
“Mbah Ma’soem datang ke sana bersama Abah saya. Pulang ke sini diberi oleh-oleh berupa kelapa,” sambungnya.
Soal cerita hubungan ulama Lasem dan Lombok ini diakui TGB pernah disampaikan oleh TGKH M Zainuddin Abdul Madjid yang tak lain kakeknya. Ulama kharismatik Lombok yang akrab disapa Maulanasyaikh ini menyebut, wilayah Lasem begitu religius. Ulama disana dikenal akan kealiman dan keshalehannya.
Beberapa waktu sebelumnya, salah satu warga Lasem, Abdullah Hamid menceritakan dengan detail kedekatan Mbah Ma’soem dan Maulanasyaikh. Itu juga yang membuat warga Lasem berduyun-duyun dan bersemangat ingin melihat penerus Maulanasyaikh. Kedekatan Mbah Ma’soem dan Maulanasyaikh dari cerita yang didapat, sudah berlangsung saat keduanya menimba ilmu di Makkah. Meski memiliki latar belakang organisasi berbeda, kedua ulama ini saling mengagumi dan menghormati.
“Saya tertarik melihat Lasem dan Lombok kembali tersambung,” kata pria asal Madura ini.
Dalam silaturahmi TGB ke Ponpes Al-Hidayat, cerita hubungan Mbah Ma’soem dan Maulanasyaikh kian terang. Gubernur santri ini datang ke ponpes asli peninggalan Kiai Ma’soem. Bangunannya sederhana. Warna hijau mendominasi. Dinding ponpes masih menggunakan papan.
Terpajang foto Mbah Ma’soem dan keturunannya. Termasuk foto Roisul Akbar Nahdlatul Ulama Hadratusyaikh KH Hasyim Asy’ari.
Pengasuh Ponpes Al Hidayat KH M Zaim Ahmad Ma’soem langsung menjemput TGB dari mobil. Sementara di dalam ponpes berkumpul santri dan santriwati.
“Ini saudara-saudara saya, cucu Mbah Ma’soem,” kata Gus Zaim memperkenalkan.
TGB pun menyapa dan melempar senyum. Bincang-bincang ringan terjadi antara keturunan dua ulama besar ini. Gus Zaim kembali membuka cerita soal Mbah Ma’soem yang datang ke Selong, Lombok Timur.
“Mbah itu diberi kelapa. Tapi, tidak biasa bunyinya klutuk-klutuk dan kelapanya berat,” ceritanya.
Gus Zaim menyebut, kisah detail ini di dapat langsung dari ayahnya KH Ahmad Syakir Ma’soem. Ayahnya yang menemani ke Lombok. Kunjungan itu diperkirakan di tahun 1960 an. Kisahnya kental dengan nilai spiritual. Ulama dahulu dikenal memiliki kemampuan membaca jarak jauh. Begitulah saat Mbah Ma’soem mendarat di Pelabuhan Ampenan.
“Tidak mengabari tapi waktu itu yang menjemput di pelabuhan begitu banyak,” lanjutnya.
TGB dengan seksama mendengarkan kisah dari Gus Zaim ini, selanjutnya ayah Gus Zaim dan Mbah Ma’soem menuju Selong. Tiba disana, mendapat penghormatan luar biasa dari Maulanasyaikh. Beragam menu disiapkan menyambut tamu “Kondisinya masih mengebul dan hangat semua,” lanjutnya.
Gus Zaim menyebut, jangan bayangkan seperti sekarang yang erat dengan alat telekomunikasi. Jadi setiap gerakan bisa terpantau pasti. Sementara zaman dahulu, antara Mbah Ma’soem dengan Maulanasyaikh bertemu dalam kondisi serba tepat. Kapal saat itu hanya muncul sekali seminggu. Kendaraan darat juga belum banyak. “Ini luar biasanya ulama zaman dulu,” ucapnya.
Tiba di Selong, Mbah Ma’soem berbincang akrab dengan Maulanasyaikh. Pondok saat itu begitu ramai dan banyak santri. Hal ini kemudian membuat Mbah Ma’soem bertanya, berasal dari mana saja santri Maulanasyaikh. Jawaban Maulanasyaikh, justru membuat Mbah Ma’soem ingin segera pulang ke Jawa.
“Dijawab kalau santri yang banyak itu dari bangsa jin. Kalau santri yang manusia sedikit,” ujarnya.
“Seketika mbah takut. Mbah paling takut dengan jin, saat itu langsung minta pulang,” sambungnya.
Keistimewaan pun kembali muncul saat tiba di Pelabuhan Ampenan. Kapal yang harusnya seminggu sekali, sore itu ada kapal. Sehingga Mbah Ma’soem bisa pulang ke Jawa. Baik Maulanasyaikh maupun Mbah Ma’soem disebut memiliki kelebihan yang tak dimiliki manusia lain. Saat pulang ke Jawa itu, Maulanasyeikh memberi buah tangan berupa kelapa.
Pesan dari Maulanasyaikh, bila ada orang Lombok datang ke Lasem berikan serabutnya. Dan benar saja, setelah itu banyak sekali orang Lombok yang mondok di Lasem.
“Tiap minta serabut, awal dikasih banyak-banyak. Dan kalau sudah dikasih serabut, biasa orang itu memberi uang,” ceritanya.
Kelapa Maulanasyaikh itu, lanjutnya, sampai mulus tanpa serabut. Tinggal batok kelapa saja. Dan uang dari sabut kelapa itu menghasilkan salah satu bangunan pondok.
“Kelapa itu masih ada. Salah satu santri membawanya, tidak dibelah masih utuh batoknya,” imbuhnya.
Beberapa santri Lombok yang masih diingat nyantri di pondok Mbah Ma’soem adalah HL Muhyi Abidin saudara dari TGB. Dan ada beberapa lagi berasal dari Lombok Barat. Gus Zaim pun berharap, silaturahmi antara Lombok dan Lasem tetap terjaga. Seperti tradisi ponpes di Pulau Jawa, biasa untuk merekatkan hubungan, keturunan dari dua ponpes dinikahkan.
“Bisa jadi nanti besanan,” ucap Gus Zaim tersenyum.
Kisah ini cukup membuat TGB kagum. Bagi gubernur santri, merawat persaudaraan atau hubungan baik orang tua oleh keturunannya itu menjadi kewajiban. Kehadirannya di Lasem pun salah satunya untuk menjaga dan merawat hubungan silaturahmi.
“Kalau soal besanan, anak saya masih kecil-kecil,” ucap TGB tersenyum.
Bapak 45 tahun ini secara khusus menceritakan kisah dari Lasem ini kepada Sekjen Ikatan Alumni Al-Azhar Indonesia Dr Mukhlis Hanafi.
“Kisah itu betul-betul terjaga secara mutawatir semua menceritakannya,” bebernya.
Penulis, (Febrian Putra-Santri Jombang)