Nusa Tenggara Barat patut berbangga memiliki sosok TGH M Zainul Majdi atau yang lebih popular dengan sapaan Tuan Guru Bajang (TGB). Gubernur NTB dua periode ini sedang berada di ujung masa kepemimpinannya sebagai gubernur. Sudah ada empat pasangan calon yang akan bersaing menggantikan posisi TGB pada jabatan gubernur NTB pada Pilkada 2018 ini. Menjadi pertanyaan warga Nusa Tenggara Barat atau bahkan rakyat Indonesia saat ini, kemana TGB setelah tidak lagi menjabat gubernur?

Munculnya pertanyaan ini sangat wajar karena kita semua mengenal doktor tafsir Al-Qur’an ini sebagai gubernur termuda di Indonesia. Artinya setelah tidak lagi menjabat gubernur, TGB masih sangat muda dan pastinya masih energik untuk jabatan apa saja yang diamanahkan kepadanya.

Tentunya dengan pengalaman di pemerintahan selama 10 tahun, menjadi modal dasar TGB untuk dipertimbangkan tetap berada di struktur pemerintahan. Andai undang-undang memberi kesempatan untuk gubernur ketiga kalinya, tentu masyarakat NTB masih mempercayakan jabatan ini kepadanya.

Dengan gaya pemerintahan yang tanpa cela, kemampuan intelektual yang di atas rata-rata serta dasar iman dan pengetahuan agama yang luas, TGB patut menjadi sosok yang banyak dirindukan rakyat. Tetapi apa daya, undang-undang di negeri ini mengamanatkan, bahwa TGB tidak boleh lagi mencalonkan diri atau pun dicalonkan sebagai gubernur, karena sudah dua periode memimpin NTB.

Ketika seseorang sudah menapaki jabatan tertinggi di suatu wilayah provinsi, maka peluang berikutnya tentu di jabatan eselon satu yaitu, menteri kabinet. Menjadi pembantu presiden bukan perkara mudah. Pada wilayah ini, kemampuan individual bukan lagi menjadi tolok ukur. Kalkulasi politik, pertimbangan wilayah dan sumber suara pemilih untuk presiden maupun partai-partai pendukung menjadi penentu. Mari belajar dari sejarah. Sepanjang sejarah pemerintahan setelah Indonesia merdeka, pernahkah ada pejabat menteri kabinet dari tokoh Nusa Tenggara Barat? Jawabnya belum ada.

Pertanyaan berikutnya, mengapa demikian? Apakah NTB tidak memiliki putra-putri terbaik yang berpengaruh dan pantas menduduki jabatan di kabinet? Jawabannya juga tidak. Kalau hanya untuk jabatan menteri kabinet, terlalu banyak tokoh daerah ini yang standar kualitasnya dan performannya pantas untuk itu. Din Syamsudin, Fahri Hamzah, Farouk Muhammad, Harun Al Rasyid, Baiq Diah Ratu Ganefi, Nanang Samodra, dan lain-lain adalah tokoh-tokoh nasional yang pantas untuk jabatan menteri kabinet. Mengenai dipilih atau tidak dipilih oleh presiden, kembali kepada pertimbangan politik oleh pemilik hak prerogatif berikut pertimbangan politik parpol pendukungnya.

Lupakan jabatan menteri, bagaimana peluang TGB menuju istana? Pertanyaan ini di satu sisi bisa saja mengundang pendapat berbeda. Jabatan menteri saja belum bisa diraih tokoh NTB, apalagi menjadi presiden atau wakil presiden.
Berpendapat demikian boleh-boleh saja, tetapi penulis memiliki pandangan berbeda. Jabatan menteri kabinet adalah jabatan yang bergantung kepada hak prerogatif presiden.

Sedangkan jabatan presiden dan wakil presiden adalah jabatan yang diamanahkan rakyat melalui pemilihan di bilik suara. Karena itu, TGB dengan segala kelebihan yang dimiliki, cerdas, berjiwa pemimpin, agamais, kharismatik, pandai berbicara, elegan dalam berpidato, bijaksana, mengayomi, dan banyak keunggulan individual yang lain dimiliki bukan sesuatu yang terlalu sulit untuk menjadi pilihan rakyat.

Sayangnya, untuk menuju ke kursi istana, baik sebagai presiden atau pun wakil presiden, sepertinya kita masih membiarkan TGB berjuang sendiri. Belakangan kita amati, TGB mulai melakukan road show keluar wilayah NTB. Bersilaturahmi ke Pantai Utara Jawa termasuk di dalamnya Madura. Beberapa kali menghadiri atau menjadi pembicara di wilayah Sumatera, Kalimantan, Papua, Sulawesi dan tentu saja di Pulau Jawa. TGB dengan latar belakang santri, tentu akan lebih muda diterima di daerah-daerah yang berbasis massa dari kalangan santri seperti Madura, Aceh, Jawa Timur dan daerah-daerah lain.

Namun demikian, TGB dengan kemampuan diplomasi, kecerdasan menempatkan diri, pengetahuan yang level internasional, bersikap santun, mengayomi, akan dengan muda beradaptasi dan diterima di wilayah seperti Bali dan NTT yang mayoritas non-muslim.

Road show TGB ke sejumlah daerah dan mudahnya dia menyisihkan waktu menghadiri undangan sebagai nara sumber atau pembicara atau apapun topik undangan lainnya juga bisa ditafsirkan sebagai upaya memperkenalkan diri di tingkatan yang lebih luas. Dan kita semua tahu, dimana TGB tampil, di sana selalu jadi bintang. Dia mampu menarik simpati dalam sekejab mata. Dia mampu menjadi panutan dalam tempo singkat. Dia mampu menjadi pribadi yang inspiratif bagi banyak orang. Tidak saja oleh orang-orang tua, tokoh-tokoh agama, tokoh adat, tokoh pemuda, tetapi juga diterima dan menjadi panutan kalangan pemilih pemula.

Jika demikian adanya, berarti istana RI 1 atau RI 2 bukan sesuatu yang sulit bagi TGB dong? Memang bagi warga Nusa Tenggara Barat yang sudah sangat mengenal TGB, boleh saja beranggapan demikian, tidak sulit menuju istana. Tetapi perjuangan menuju istana tidak cukup oleh masyarakat NTB saja. Dibutuhkan sokongan secara nasional. Penduduk NTB hanya 4,5 juta dari sekitar 250 juta penduduk Indonesia. Itu pun dari 4,5 juta penduduk NTB tidak semua memiliki hak suara karena sebagian yang belum cukup umur alias masih anak-anak.

Partai yang selama ini dibesarkan TGB di wilayah NTB yaitu Partai Demokrat, juga terkesan belum ada upaya nyata untuk “mempromosikan” TGB di level nasional. Ketua Umum Partai Demokrat Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) masih terkonsentrasi mendorong dan mengangkat anaknya Agus Harimurti Yudhono (AHY). Bahkan secara kasat mata sepertinya SBY mencoba bermain di dua kaki untuk memuluskan anaknya AHY menuju istana.

Melihat dinamika politik SBY seperti ini, sangatlah kecil peluang TGB untuk dibesarkan oleh Partai Demokrat di tingkat nasional. Kita semua lihat dan tahu, hampir belum ada agenda khusus SBY di level nasional yang melibatkan TGB sebagai upaya menaikan elektabilitas gubernur kita di tingkat yang lebih luas. Dan kita juga harus maklum karena ada AHY yang masih jadi prioritas SBY, walaupun secara kualitas, jujur saja AHY belum bisa disandingkan dengan TGB. Lihat saja, berapa persen pemilih AHY ketika bertarung memperebutkan kursi Gubernur DKI Jakarta. Padahal, dia bermain di kandangnya sendiri.

Lupakan Partai Demokrat! Pertanyaan berikutnya, apa tugas kita masyarakat NTB untuk membantu TGB menuju kursi RI1 atau RI2? Apakah tega membiarkan Tuan Guru kita berjuang sendiri? Tentu ajakan penulis yang pertama kepada pejabat-pejabat kita di pusat. Entah yang duduk di DPR RI, di DPD ataupun yang ada di jabatan partai politik. Jika ingin NTB muncul di tingkat nasional, maka ego etnis, ego partai, ego kepentingan pribadi harus dibuang jauh. Satukan komitmen untuk mendukung satu tetapi dapat daripada mendukung banyak tetapi tidak satupun dapat.

Belakangan banyak pengamat yang mencoba menggandengkan Jokowi dengan TGB. Katanya ini pasangan ideal karena menggabungkan Jokowi yang nasionalis dengan TGB yang berlatar belakang santri. Perpaduan ini gampang diucap dan memang seyogyanya seperti itu menghadapi rakyat Indonesia yang semakin terbuka terhadap demokrasi namun tetap menjunjung norma-norma agama.

Jokowi mungkin terlihat lebih care terhadap TGB yang bisa diamati pada setiap kunjungan presiden ke NTB. Bagaimana kedua tokoh ini (Jokowi dan TGB) seperti sahabat lama yang sangat dekat ketika misalnya bersepeda bersama mengelilingi Kota Mataram. Andai saja Jokowi berkenan menggandeng TGB sebagai wakil di Pilpres 2019, maka tidak sulit bagi Jokowi untuk mengangkat pamor TGB di level nasional. Jokowi tinggal membawa TGB duduk di Menteri Kabinet, masalah selesai.

Namun demikian, Jokowi bukanlah Jokowi yang full power. Ada bayang-bayang Megawati Ketua Umum PDIP di belakangnya. Sebagai partai utama pengusung –apalagi Jokowi adalah kader PDIP, maka keputusan-keputusan strategis termasuk dalam urusan calon RI 1 dan RI 2 tetap harus mendengarkan apa kata Megawati. Pertanyaannya mampukah Jokowi menyodorkan TGB kepada Megawati untuk disetujui menjadi calon wakil?

Politik memang dinamis. Apa saja bisa terjadi. Dan Megawati sangat brilian memainkan peran-peran politik yang sulit ditebak, mendebarkan sekaligus mengejutkan. Bayang-bayang Prabowo Subianto juga masih mempengaruhi arah politik TGB. Ketua Umum DPP Partai Gerindra ini tentu punya pandangan atau mungkin juga “kado” yang tersimpan untuk TGB. Sejarah mencatat, ketika Prabowo maju memperebutkan kursi RI 1 melawan Jokowi pada Pilpres 2014, TGB menjadi orang kepercayaan Prabowo mengendalikan suara di NTB dan Prabowo menang mutlak di Bumi Gora.

Kini, di Pilpres 2019, Prabowo sepertinya belum menyerah dan kemungkinan masih akan bertarung kembali. Mungkinkah Prabowo ingin mengulang nostalgia indah di NTB dengan kembali menggandeng TGB? Jawabannya tergantung koalisi partai nantinya. Andai saja Partai Demokrat merapat ke barisan partai pendukung Jokowi, mungkin saja jarak Prabowo-TGB semakin jauh. Kecuali jika TGB memilih tetap merapat ke Prabowo dengan melepaskan atribut Partai Demokrat.

Kesimpulan, untuk menuju kursi istana, tugas paling berat saat ini adalah menaikkan elektabilitas TGB di level nasional. Ketika seseorang sudah sangat dikenal di seluruh tanah air, dicintai rakyat dan dinilai mampu mendulang suara pilpres, maka semua logika dan kalkulasi politik bisa berubah dalam sekejab. Tidak ada yang abadi di politik. Peluang TGB menuju istana masih terbuka. Amin.

Penulis, Dominikus Umbu Pati
Redaktur Senior Radar Mandalika, Lombok Post Group

Sumber, Lombok Post

[jetpack-related-posts]

Pin It on Pinterest

Shares
Share This