Tatkala TGB naik menjadi gubernur September 2008, isu ketimpangan pembangunan antara Pulau Lombok dan Sumbawa mencuat ke permukaan. Isu ini bukan hal baru sebenarnya, hanya saja menjadi isu yang hangat lantaran TGB merupakan gubernur NTB pertama yang dipilih langsung oleh rakyat di era reformasi dan otonomi daerah merebak.

Tidak merata! Tidak adil! Tidak berimbang! Diskriminatif! Satu pulau ibarat anak kandung! Pulau yang satu persis anak tiri! Satu dimanjakan, yang lainnya diabaikan! Satu diketengahkan yang satunya ditepikan! Demikianlah beberapa ungkapan yang terekam di publik untuk mengambarkan ketimpangan pembangunan Lombok-Sumbawa.

TGB mencermati isu ketimpangan ini dengan seksama. Tidak ada pernyataan bantahan tidak juga ada pernyataan yang membenarkan. TGB menyadari betul besarnya harapan rakyat di pundaknya. Harapan yang besar itu harus dikelolanya dengan cermat dan seksama. Sebab jika tidak, harapan publik bisa berubah menjadi sikap apatis dan skeptis yang tidak produktif.

TGB menerima isu ketimpangan Lombok-Sumbawa sebagai satu fakta. Tidak dianggapnya beban dan bukan pula dirasakannya sebagai tekanan. Justru dimaknainya sebagai satu tantangan dan tanggung jawab bersama untuk memastikan lombok-Sumbawa tumbuh bersama, menuju pemerataan pembangunan yang lebih tepat sasaran dan proporsional.

Bagi TGB kedua pulau utama di NTB ini sama-sama pentingnya. Punya segenap potensi yang saling melengkapi untuk maju bersama. Pulau Sumbawa memang membutuhkan penanganan ekstra.Terutama dalam hal pemenuhan infrastruktur transportasi darat, laut dan udara. Luasnya yang hampir tiga kali lipat pulau Lombok dengan kontur alamnya yang berbukit dan bergunung, menjadikan biaya pembangunan infrastruktur di pulau Sumbawa kian mahal. Berlipat kali dari kebutuhan Pulau Lombok.

TGB sejak awal bertekad untuk memastikan konektivitas dua Pulau utama di NTB ini kian mantap. Peningkatan kapasitas jalan, pelabuhan dan bandara di Pulau Sumbawa menjadi concern. Jika infrasruktur transportasi ini membaik, maka aksesibilitas ke Pulau Sumbawa meningkat. Bersamaan dengan itu terjadi konektivitas yang makin kuat antara Lombok-Sumbawa. Memastikan kedua pulau ini terkoneksi pula dengan lebih menyakinkan pada moda transportasi nasional.

KONDISI SEBELUM TGB Ketika TGB naik menjadi gubernur NTB akhir 2008, potret infrastruktur NTB bisa dikatakan berada di titik nadir. Satu kondisi dimana penanganan infrastruktur jalan di tempat. Tidak terjadi kemajuan yang berarti untuk mempercepat mengatasi ketertinggalan yang nyata. Kendala keterbatasan anggaran menjadi dalih yang terus menerus dikedepankan untuk mendapatkan permakluman publik kala itu.

Data dan fakta lapangan menunjukkan dengan terang benderang. Kondisi infrastruktur jalan misalnya, sampai akhir 2008 tingkat kemantapan jalan provinsi hanya mencapai 44,73 persen. Bahkan tercatat sekitar 480,6 kilometer jalan provinsi rusak parah. Jangankan untuk membangun ruas baru, merawat dan memelihara ruas yang sudah ada saja pemerintah daerah megap-megap kehabisan daya.

Bagaimana dengan kemantapan jalan nasional? Potretnya kurang lebih sama. Sampai akhir 2008 tercatat ada 176 kilometer ruas jalan nasional terutama di Pulau Sumbawa yang belum mantap. Banyak dari ruas jalan yang belum mantap itu berada di wilayah pengembangan wisata yang sangat potensial. Seperti ruas jalan menuju Pulau Moyo, Danau Satonda dan pantai Lekey di daratan Pulau Sumbawa.

Nasib serupa juga tergambar pada kondisi infrastruktur pelabuhan dan bandar udara. Bandara Selaparang makin jenuh sementara bandara baru belum juga beroperasi. Kondisi ini mempersulit ikhtiar  mendongkrak sektor pariwisata NTB untuk kembali bergeliat setelah berturut-turut di hantam beragam badai. Mulai badai krisis ekonomi nasional 1999, kerusuhan rasial di kota Mataram 2000, bom Bali satu 2001 dan bom Bali dua 2002.

Bandara di Pulau Sumbawa juga perkembangannya stagnan. Merujuk data 2007, setahun sebelum TGB menjadi gubernur, Bandara Sultan Salahuddin hanya melayani 10 kali penerbangan setiap pekannya dengan tak lebih dari 500 kursi yang tersedia. Bandara Brangbiji bahkan jauh lebih sedikit,  hanya melayani empat kali penerbangan dalam sepekan dengan 152 kursi yang dijajakan. Landas pacu kedua bandara perintis ini hanya bisa didarati pesawat berbadan kecil jenis foker 27. Jadilah kedua bandara di Pulau Sumbawa itu sebagai  simpul transportasi udara yang tidak berfungsi dengan optimal.

Bagaimana dengan pelabuhan laut?Tiga pelabuhan utama: Lembar, Badas, Bima kondisinya timpang. Jika pelabuhan Lembar di Pulau Lombok memiliki fasilitas pendukung yang cukup memadai, sebaliknya Pelabuhan Badas dan Bima kondisinya relatif memprihatinkan. Dua pelabuhan penyeberangan dan angkutan barang di Pulau Sumbawa ini seperti kurang asupan gizi.

Pelabuhan Lembar sendiri pun sebenarnya punya banyak keterbatasan. Sehingga secara umum biaya logistik di NTB masih tinggi. Menjadikan komoditas unggulan NTB semacam sapi, jagung, rumput laut, kerajinan tangan dan lainnya, belum sepenuhnya bisa kompetitif di pasar nasional.

Data lalu lintas penumpang dan terutama bongkar muat barang di tiga pelabuhan laut utama di NTB, sepanjang 2005-2008 menunjukkan geliat yang tidak menyakinkan. Peningkatannya lambat dan grafiknya datar. Ini menunjukkan tiga pelabuhan laut utama di NTB itu belum sepenuhnya berfungsi sebagai sarana infrastruktur yang menopang pergerakan ekonomi daerah. Biaya logistik yang mahal menjadi konsekwensi logis dari potret kondisi infrastruktur laut tersebut.

Pelabuhan laut lainnya yang berskala lebih kecil namun bernilai strategis bagi pengembangan wilayah sekitarnya, juga bernasib setali tiga uang. Sebut saja Pelabuhan Lombok, Pemenang, Senggigi dan Tanjung Luar di Pulau Lombok serta Pelabuhan Alas, Labuhan Lalar, Kempo dan Calabai di Pulau Sumbawa. Di sejumlah pelabuhan laut transit ini, aktvitas bongkar muat barang dan lalu lintas manusia berlangsung ala kadarnya.

Kondisi infrastruktur pelayanan air bersih dan perumahan rakyat, juga menjadi tantangan tersendiri di NTB. Akses rakyat untuk mendapatkan dua kebutuhan infrastruktur ini relatif belum menggembirakan. Padahal kebutuhan rumah layak huni dan akses air bersih ini terhitung penting untuk menekan angka kemiskinan yang masih sangat besar.

Di sektor pertanian, infrastruktur penopang seperti bendungan, embung dan saluran irigasi juga menjadi kebutuhan nyata untuk memastikan ketahanan pangan berkelanjutan. NTB memang surplus beras, tetapi pengelolaan potensi lahan keringnya tidak memperlihatkan ada terobosan yang berarti. Komoditas lahan kering non beras perlu ditingkatkan produksi dan nilai tambahnya.

Singkat kata, TGB mendapatkan warisan dari pendahulunya berupa tantangan besar pada sektor infrastruktur. Tantangan itu berupa segudang pekerjaan yang harus dijawab dengan percepatan dan terobosan. Sebab tanpa itu, pembangunan infrastruktur di NTB bisa makin terbenam hingga ke titik nadir.

Apa yang sudah pendahulunya lakukan, dijadikan energi positif untuk melipatgandakan kinerja. Bagi TGB, warisan capaian pembangunan infrastruktur dari pendahulunya itu adalah amanah sekaligus juga tanggung jawab. Jika potretnya belum tampak cerah, TGB bertekad menjadikannya lebih cerah. Beranjak dari titik nadir ketertinggalan menjadi penopang yang kokoh bagi peningkatan dayasaing daerah yang berkelanjutan.

Ahyar Ros (Staf Ahli Program unggulan NTB)

Pin It on Pinterest

Shares
Share This