Mata Slamet (39) berkaca-kaca. Dia tidak kuasa membendung keharuannya yang teramat dalam. Dia tidak pernah membayangkan sebelumnya kalau dirinya bisa bersilaturahim, bersalaman dan berbicara secara langsung dengan seorang gubernur yang juga tuan guru.
Hari itu, Slamet dan dua kawannya yang kebetulan satu kampung dengan saya di Kecamatan Utan Sumbawa datang ke Kota Mataram. Mereka sengaja datang menemui saya. Mereka minta tolong kepada saya untuk dijembatani agar bisa bersilaturahim dengan gubernur. Tidak ada maksud lain selain sekadar bersilaturahim.
Awalnya, saya ragu menghubungi gubernur untuk meminta waktu menerima kawan-kawan dari kampung yang bermaksud bersilaturahim. Pertimbangan saya, sebagai gubernur kegiatannya tentu sangat padat. Sehingga susah untuk menyiapkan waktu secara mendadak menerima Slamet dan dua kawannya, yang bermaksud bersilaturahim dengan gubernur pada hari itu juga.
Tetapi saya tidak tega menolak permintaan mereka yang menurut saya tulus bermaksud bertemu dengan pemimpinnya. Terutama Slamet, yang kebetulan kedua orang tuanya berasal dari Lombok Timur. Tetapi lahir, besar dan menikah di Utan Sumbawa, sehingga dia tidak lagi mempunyai dialek Sasak dalam berbicara. Dia kelihatannya lebih ”Sumbawa”. Menurut ceritanya, Slamet kerap berkhayal bertemu gubernur. Apalagi mereka datang dari jauh. Mereka harus mongorbankan waktu dan mengeluarkan biaya untuk bisa tiba di Mataram.
Akhirnya, saya mencoba SMS gubernur. Secara terbuka saya katakan kepada gubernur bahwa teman saya dari kampung bermaksud bersilaturahim dengan gubernur di pendopo gubernur sekitar pukul 19.30 wita. Tidak seberapa lama, gubernur menjawab SMS dan mempersilahkan saya dan kawan-kawan dari kampung untuk datang ke pendopo.
Mendapat informasi bahwa gubernur bersedia menerima mereka di pendopo. Slamet dan kedua kawannya sangat kegirangan. Mereka seperti tidak bisa menunggu waktu untuk bertemu dan bersilaturahim dengan gubernur. Ketiganya segera pamit dari kantor saya. Katanya, mereka ke toko pakaian membeli baju yang pantas digunakan untuk bertemu gubernur.
Namun siang harinya, saya mendapat SMS dari gubernur. Gubernur menunda menerima kami karena ada seorang mantan pejabat NTB meninggal. Gubernur akan datang ke rumah duka. Dengan sentuhan kalimat yang menggetarkan, gubernur minta maaf karena tidak bisa menerima kami di pendopo dan menunggu kami pada esok harinya di kantornya.
Pagi, pada keesokan harinya sesuai SMS gubernur bahwa gubernur akan menerima kami di ruang kerjanya, Slamet dan kedua kawannya kelihatan ”gelisah”. Mereka, terutama Slamet seperti orang terhinggap ”demam”. Katanya, badannya ”panas dingin” karena akan ketemu gubernur, sesuatu yang tidak pernah terbayangkan bisa diwujudkan.
Janji ketemu gubernur sesungguhnya masih relatif lama, sekitar pukul 11.30 wita, tetapi Slamet dan kedua kawannya sudah bersiap-siap sejak pagi, sekitar pukul 9.00 wita mereka sudah muncul di kantor saya dengan pakaian rapi. Mereka menggunakan pakaian yang mungkin baru mereka beli. Karena sesuai kesepakatan, saya akan mendampingi mereka dan kami berangkat bersama-sama ke kantor gubernur dari kantor saya.
Di atas mobil, seusai bertemu gubernur di ruang kerjanya, tidak saja Slamet, tetapi ketiganya. Bahkan kawannya yang bernama Daeng Baso tidak bisa membendung air matanya jatuh karena tak kuasa menahan keharuannya yang amat dalam.
Tidak terbayangkan oleh mereka gubernur akan menerima mereka dengan sangat bersahabat dan sangat manusiawi. Gubernur tidak saja bersedia berfota bersama dengan mereka. Tetapi ketika pulang, gubernur mengantar kami hingga luar pintu ruang kerjanya. Padahal kata Slamet, dirinya hanyalah rakyat biasa, ”orang kecil”, pekerja serabutan dan kadang-kadang membantu temannya sebagai sopir. Maksudnya, tidak pentinglah gubernur menerima dirinya dan mengantar hingga luar pintu ruang kerjanya ketika pulang. Apalagi kedatangan mereka bertemu gubernur hanyalah untuk bersilaturahim biasa tanpa ada keperluan lainnya.
Interaksi Gubernur NTB, Dr. TGH. Muhammad Zainul Majdi MA dengan masyarakat beberapa kali saya melihat dan mecermatinya. Kedahsyatannya terletak pada sentuhannya. Salah satu peristiwa yang saya potret, ketika secara kebetulan kawan saya, Zulkieflimansyah, anggota DPR-RI datang ke Mataram. Ketika itu, ada juga Sandiaga S.Uno dan dua kawan lainnya.
Kebetulan pada saat itu ada pengajian di beberapa tempat, di Lombok Barat, Lombok Tengah dan Lombok Timur. Saya melihat gubernur berangkat menuju tempat pengajian dari pendopo bersama-sama dalam satu mobil dengan tamunya yang datang dari Jakarta tersebut.
Sepanjang perjalanan saya tidak mendengar ada bunyi ”serine” yang menandakan bahwa ada pejabat lewat. Artinya, gubernur saya tangkap memaknai jabatannya sebagai sesuatu yang ”sangat biasa”. Karena sesungguhnya, yang paling penting dari jabatan adalah manfaatnya bagi orang banyak bukan ”bunyi serine” walau itu merupakan hak protokoler.
Gubernur sesungguhnya memiliki kekuatan yang sangat dahsyat untuk membangun NTB. Antara lain, gubernur memiliki kekuatan massa yang besar. Selain kemampuan personalnya yang hebat dalam membangun relasi. Sehingga tidak ada alasan sebenarnya NTB tidak menjadi provinsi yang hebat.
Yang menjadi persoalan, ketika gubernur tidak didukung dan dibantu oleh orang-orang hebat. Orang-orang yang bisa menterjemahkan dan melaksanakan gagasan dan pikiran besarnya untuk membangun NTB. Akibatnya, kekuatan gubernur tidak menutup kemungkinan akan menjadi hampa. Apalagi kalau dikelilingi oleh orang-orang yang sarat kepentingan dan tidak berorientasi untuk menjaga pemimpin dan menjaga daerahnya.
Keikhlasan dan ketulusan membangun dan memelihara relasi tidak bisa hanya dilakukan gubernur, tetapi semua yang ”membatu” gubernur.Tidak mungkin kekuatan besar bisa kita bangun tanpa ada kesamaan atmosfir semua pihak, termasuk kepala daerah dan wakil kepala daerah di kabupaten serta kota.
Tidak sebaliknya misalnya, kekuatan-kekuatan potensial yang ada di sekeliling dan membantu gubernur, apalagi dalam level pemimpin justru memberantakan relasi yang sudah ada hanya karena kepentingan-kepentingan yang sangat remeh temeh. Padahal pemberantakan relasi adalah tindakan bodoh dan harganya sangat mahal. Apalagi kalau relasi yang diberantakan itu merupakan relasi potensial. Seharusnya relasi-relasi yang sudah ada dipelihara secara baik dan diperluas.
Agustalino
Pemimpin Redaksi Suara NTB
Pernah dimuat di Suara NTB, 19 Oktober 2009
Sebagai warga NTB saya merasa bangga memiliki pemimpin seperti TGB. Berbagai prestasi telah beliau torehkan selama memimpin NTB. Biliau tidak hanya aset bagi NTB, tetapi beliau juga merupakan putra terbaik bangsa Indonesia. Dalam banyak kesempatan, saat diskusi soal para pemimpin bangsa ini, saya sering menjuluki beliau sebagai, “Muh. Natsir Era Kini”. Beliau seorang Ulama, sekaligus politisi berintegritas.