Seperti apa peluang Tuan Guru Bajang menuju RI satu? Pertanyaan ini sedang menghinggapi kepala jutaan orang dari Sabang sampai Merauke, dan pertanyaan itu belum beranjak pergi, melainkan menunggu dengan harap-harap cemas, hingga Pemilihan Presiden 2019.
Sebelum KPU mengumumkan hasil Pilpres 2019, lantas dengan apa hendak menjawab pertanyaan publik tersebut? Bersyukur saya pernah belajar teori “merajut bayangan” atau imagologi yang digagas filsuf Milan Kundera, seorang arsitek pemikir abad 20 yang mampu membaca waktu 20 tahun ke depan.
Sehingga saya memahami dengan baik apa yang menjadi kegelisahan banyak orang seputar siapa gerangan calon pengganti Jokowi, Presiden RI saat ini. Sebenarnya imagologi adalah ilmu dasar yang dimiliki oleh para arsitek postmodern yang menolak kemapanan struktural, karena cenderung mempersempit ruang publik, sehingga berikhtiar menghadirkan ruang alternatif untuk menghindari kejumudan yang menumpulkan daya cipta manusia.
Oleh karenanya, saya sangat terkejut sekaligus terperangah ketika menyaksikan TGB membangun “Islamic Center” yang megah itu. Ternyata beliau seorang “arsitek intelektual” yang pikirannya jauh melampaui zamannya, tidak hanya berpikir hari ini atau 5 meter ke depan.
Dari sini perspektif saya tentang TGB mulai berubah, bahwa TGB memang lebih pantas untuk memimpin “Indonesia Besar”, bukan “Indonesia kecil” (sebutan lain dari Pulau Lombok). Asumsi itu menjadi mungkin! Dasarnya?
Dari “Indonesia kecil” ke “Indonesia Besar”
Sebelum kita membahas lebih jauh tentang sosok TGB Dr. HM Zainul Majdi dan peluangnya untuk menjadi Presiden RI ke-8, saya akan mencoba menampilkan sebuah “potret silam” tentang Lombok sebagai “miniaturnya Indonesia” (Indonesia kecil).
Secara geografis Pulau Lombok berada di tengah-tengah di antara jajaran kepulauan nusantara (yang terbentang dari Sabang sampai Merauke). Jarak dari Lombok ke Sabang hampir sama dengan jarak dari Lombok ke Merauke, sehingga dalam sejarah penyebaran penduduk di nusantara, Lombok merupakan “titik singgung” (pusat interaksi) antar berbagai etnis atau suku yang terdapat di nusantara, bahkan dunia!
Saya agak terkejut membaca catatan perjalanan Alfred Russel Wallace dalam The Malay of Archipelago. Ketika singgah di Lombok tahun 1856, Wallace tak hanya menemukan orang Melayu, Batak, Banjar, Bugis, Manado, Ambon, Jawa, Sunda, Bali, dll, tapi juga orang Arab, India, Cina, Jepang, Eropa, dan lainnya.
Selama hampir 2 bulan berkelana di Lombok (di antaranya ke Kopang dan Labuhan Tereng), Wallace tak hanya berkenalan dengan orang Banjar bernama Encek Daud (Inci David) dan orang Bali bernama Gde Oka (Gadioca), tapi juga seorang pelaut Amerika yang terlantar karena tidak berani kembali ke kapal (setelah berkelahi dengan temannya), sehingga akhirnya ditinggal pergi.
Pertemuan antara berbagai etnis dan bangsa itu terjadi karena hubungan dagang antara Kota Pelabuhan Ampenan dengan berbagai kota dan kerajaan lain di nusantara dan dunia yang masuk melalui 4 pelabuhan di Lombok (Labuhan Ampenan, Labuhan Poh, Labuhan Tereng dan Labuhan Haji). Lombok adalah pulau kecil yang memiliki banyak pelabuhan yang jejak historisnya masih terlihat jelas sampai sekarang.
Dari deskripsi Wallace tentang Lombok (yang dibahasnya dalam tiga bab) itu tergambar jelas, bahwa sejak dulu Pulau Lombok memang sudah menjadi “miniaturnya Indonesia” (Indonesia kecil) tempat berkumpulnya berbagai suku/bangsa, sehingga dengan menjadi Gubernur NTB selama 2 periode (2008-2019) sebenarnya secara tidak langsung TGB sedang berlatih menjadi Presiden RI.
Kembali ke soal arsitektur Islamic Center NTB (kendati bukan TGB yang membuat rancang bangun monumen Islam terbesar di Asia Tenggara itu), tapi kehadiran TGB sebagai penggagas berdirinya ikon umat Islam tersebut telah cukup menjadi bukti bahwa Tuan Guru Bajang Dr. HM Zainul Majdi MA, adalah seorang “pemikir visioner” yang menggunakan nalar seorang arsitek dalam merancang bangun masa depan NTB.
Cara berpikir dengan menggunakan logika terbalik (menghadirkan bayangan lebih dulu sebelum wujudnya) itu hanya mungkin dilakukan oleh seorang “Mpu” yang proses “ngelmu” tafsirnya sudah khatam, yang ketika menghadapi sebuah teks, secara spontan akan tergambar bagaimana kondisi dan situasi ketika teks itu dibuat.
Pengalaman semacam itu juga akan terjadi ketika seseorang menggagas “rumah masa depan” untuk bangsa, dia akan membayangkan suasana kehidupan dalam dua dimensi waktu (kini dan akan datang) sebelum mewujudkannya menjadi kenyataan.
“Merajut Bayangan Indonesia”
Sejarah seringkali memilih jalannya sendiri yang luput dari perhatian kita. Apa yang tersurat di permukaan tak lebih dari serpihan-serpihan kisah yang sudah berkali-kali pindah tangan (ditafsir ulang), sehingga tak bisa disimpulkan sebagai kebenaran tunggal. Karena yang tunggal itu hanya fakta dan peristiwa sejarah, sedangkan teks adalah versi yang terbuka untuk ditafsir ulang. Begitu pula dengan sejarah perkembangan kebudayaan Islam.
Untuk mendatangkan pengunjung dari berbagai negara, pemerintah Arab Saudi tidak perlu membentuk Kementerian Pariwisata untuk membujuk orang supaya mau datang ke Mekah. Karena sejak arah kiblat solat berpindah dari Palestina ke Mekah sejak mulainya tahun hijriyah, perhatian dunia mulai tertuju ke Mekah. Hingga 14 abad kemudian, setiap hari jutaan orang datang ke Mekah. Di luar kenyataan bahwa sampai sekarang pemerintah Arab Saudi masih kewalahan menampung “tamu-tamu Allah” yang datang dari berbagai negara pada setiap musim haji.
Oleh karenanya apa yang digagas TGB dengan mendirikan Islamic Center (IC) terbesar di Asia Tenggara itu adalah sebuah “lompatan imajiner” ke depan, dalam upaya merajut bayangan Indonesia Raya. Kehadiran IC NTB bukan untuk tujuan sempit berskala lokal, tapi sebuah cita-cita jangka panjang dan berskala global, demi kejayaan Indonesia.
Karena letaknya yang persis di tengah-tengah, Pulau Lombok memang memiliki posisi yang sangat strategis untuk dijadikan sebagai “Pusat Peradaban Islam” Nusantara (Indonesia dan Asia Tenggara). Pandangan visioner TGB itu penting untuk diapresiasi oleh segenap warga bangsa, jika menginginkan masa depan Indonesia yang gemilang. Bertolak dari cita-citanya yang begitu besar untuk agama dan bangsa itu, agaknya tidak berlebihan sekiranya segenap warga bangsa ikut mendorong tokoh genius dan kharismatik ini untuk tampil memimpin bangsanya yang telah kehilangan orientasi dan masa depan.
Sosok TGB yang secara genealogis adalah keturunan Patih Nambi dari leluhur Iskandar Zurkarnain (Alexander The Great), penakluk yang terkenal dengan “mahkota bertanduk” (yang jejak-jejak historisnya masih terlihat pada arsitektur Minangkabau, Toraja, Sumbawa), yang bila meminjam terminologi Jawa adalah sosok “ksatria piningit” yang selama ini ditunggu-tunggu oleh bangsa Indonesia.
Gerakan mengusung TGB menuju “Kursi Presiden”, sesekali memang menuai kritik yang sifatnya klise, orang dari daerah kecil kok ingin jadi presiden?
Tetapi dengan terpilihnya Barack Obama sebagai Presiden di tengah warga kulit putih (AS) atau Zadiq Khan yang Muslim sebagai Wali Kota London, telah menggugurkan tesis “basi” tentang rasisme. Dan alam demokrasi telah cukup mendidik bangsa Indonesia untuk lebih dewasa dalam menyikapi perbedaan.
Penulis, Adam G Parra adalah peneliti khazanah Sasak, tinggal di Mataram
Sumber, https://dhongc.wordpress.com/2017/06/10/dari-indonesia-kecil-ke-indonesia-besar/